Kebijakan Pemerintah Atasi Kelangkaan Minyak Goreng Berdampak pada Perekonomian Masyarakat dan Negara

 Kebijakan Pemerintah Atasi Kelangkaan Minyak Goreng Berdampak pada Perekonomian Masyarakat dan Negara

Penulis : Anisa, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya, dalam rangka tugas Mata Kuliah Hukum Administrasi Negara.

OPINI — Pada dasarnya kebutuhan pokok manusia ialah sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Dimana kebutuhan-kebutuhan pokok tersebut juga merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia secara individu ataupun kelompok.

Sebagai perkumpulan dari individu, rumah tangga merupakan salah satu unit dalam masyarakat yang aktivitas konsumsinya cukup banyak, terkhusus dalam pangan. Dimana salah satu konsumsi akan kebutuhan pangan tersebut, di masyarakat Indonesia, memerlukan minyak goreng.

Sehingga, boleh dibilang bahwa minyak goreng merupakan salah satu komoditas pangan rumah tangga yang sangat penting. Meskipun begitu, akhir-akhir ini di Indonesia terjadi kelangkaan minyak goreng yang secara langsung atau tidak langsung, berdampak pada ekonomi masyarakat maupun negara.

Lonjakan harga minyak goreng yang terjadi pada awal tahun 2022 tersebut membuat banyak masyarakat Indonesia menjadi kesusahan dalam membeli minyak goreng. Pada awal Januari lalu, harga minyak goreng di pasaran bisa menyentuh Rp 19.000 sampai dengan Rp 24.000 per liter, tergantung kemasannya.Situasi ini kemudian membuat pemerintah akhirnya melakukan tindakan, dengan memperbarui harga eceran tertinggi atau HET.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tanggal 29 Oktober 2021, minyak goreng yang paling sering digunakan oleh masyarakat Indonesia adalah minyak goreng sawit.BPS juga menyebutkan, minyak goreng sawit memiliki banyak keunggulan dibanding jenis-jenis minyak lainnya dan cocok dengan kebiasaan menggoreng masyarakat Indonesia.Saat tahun 2020, ketika negara masih dilanda pandemi Covid-19, konsumsi minyak goreng masih cenderung stabil, baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.

Konsumsi minyak goreng sawit ini juga didukung oleh status Indonesia sebagai penghasil minyak sawit terbesar di dunia.Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia atau GAPKI mencatat, produksi CPO atau minyak sawit pada 2021 mencapai 46.888 juta ton.Angka itu turun dibanding produksi pada 2020 yang mencapai 47.034 juta ton.Menurut GAPKI, faktor keterbatasan pemupukan pada 2019 dan 2020, serta faktor cuaca diduga menjadi penyebab penurunan produksi minyak sawit Indonesia pada 2021.

Meski produksi minyak sawit mengalami penurunan, namun konsumsi minyak sawit dalam negeri pada tahun yang sama justru mengalami peningkatan.GAPKI juga mencatat, konsumsi minyak sawit dalam negeri pada 2021 mencapai 18.422 juta ton dibanding konsumsi tahun 2020 sebesar 17.349 juta ton.

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan BPS, menunjukkan bahwa konsumsi minyak goreng sawit, terutama pada tingkat rumah tangga, selama periode 2015-2020 mengalami peningkatan setiap tahun.

Berikut ini rincian data dari tahun ke tahun, yakni 10,33 liter/kapita/tahun (2015); 10,65 liter/kapita/tahun (2016); 11,00 liter/kapita/tahun (2017); 11,27 liter/kapita/tahun (2018) dan 11,58 liter/kapita/tahun (2020).

Dari data tersebut, BPS menghitung bahwa perkembangan rata-rata konsumsi minyak goreng sawit di tingkat rumah tangga di Indonesia selama periode 2015-2020 mengalami peningkatan sebesar 2,32 % per tahun.

Namun, kelangkaan minyak goreng yang terjadi saat ini menjadi masalah yang ada di negara kita, mengingat Indonesia adalah penghasil minyak sawit terbesar di dunia sesuai dengan data tahun 2006.

Dan, pada saat ini yang menjadi keresahan ditengah masyarakat adalah ekonomi pasca pandemic Covid-19 yang masih kacau, kemudian diperparah lagi dengan situasi ekonomi kelangkaan minyak goreng yang jelas saja menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga beli dari minyak goreng, bahkan berimbas pada komoditas kebutuhan lainnya.

Pasca terjadinya kasus kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng tersebut, menurut saya, ketika pemerintah pusat membuat beberapa kebijakan terkait ini, salah satunya larangan ekspor produk mentah, yang pada awalnya kebijakan ini diterapkan pada komoditas batu bara yang berimbas pada tingginya permintaah dari luar negeri, kemudian berlanjut kepada hasil nabati sawit yakni crude palm oil atau CPO.

Kebijakan untuk menghentikan eksport sendiri diatur dan dilaksanakan dalam Keputusan Menteri Perdagangan atau Permendag Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perubahan No. 19/2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Eksport yang mana didalamnya mencakup minyak sawit mentah.

Meskipun pada dasarnya keputusan ini tidak sepenuhnya melarang ekspor minyak mentah, namun ada syarat untuk mendapatkan persetujuan ekspor yakni eksportir wajib memenuhi kebutuhan dalam negeri sebanyak 20 persen dari kuota ekspor dan melampirkan surat mandiri yang menyatakan bahwa telah memasok kebutuhan dalam negeri.

Kendati demikian, kebijakan pemerintah tersebut belum sesuai dengan realita implementasi di lapangan. Karena saat ekspor CPO dilarang, beberapa produsen minyak goreng swasta membeli CPO dengan harga yang sangat tinggi. Dari sana, kita bisa tau bahwa bahan baku tidak lebih mahal dari bahan jadi.

Dengan harga produk turunannya seperti minyak goreng dalam negeri yang masih sama, membuat produsen minyak goreng swasta mencari cara untuk mengurangi kerugian yang mereka alami.

Salah satunya adalah mengekspor lebih banyak hasil produksi mereka. Adanya kebijakan larangan ekspor bersyarat tersebut harusnya diterapkan bersamaan juga kepada produk impor.

Karena, subsidi terhadap harga minyak goreng yang diberikan kepada produsen minyak goreng swasta hanyalah sebuah solusi sementara yang akan menyerap lebih banyak anggaran negara bila itu dibiarkan.

Berdasarkan hal tersebut, Langkah yang tepat dan seharus nya segera dilakukan oleh pemerintah adalah memperoduksi minyak goreng oleh perusahaan dalam negeri. Yang tujuannya mengamankan ketersediaan minyak goreng dengan harga yang terjangkau.

Jika hal ini dilakukan, maka stok minyak goreng untuk dalam negeri menjadi lebih transfaran dan mudah dikontrol oleh negara. Tanpa mengganggu aktivitas ekonomi masyarakat dan produksi produsen minyak goreng swasta tetap bisa melakukan perdagangan baik dalam negeri atau luar negeri, agar pendapat negara bertambah dan ekonomi nasional kembali pulih dari stimulus kebijakan ekonomi tersebut.

Tidak hanya saat proses produksi saja, namun pengelolaan lahan sawit yang tepat juga sangat berpengaruh pada hasil minyak sawit yang banyak dan berkualitas.Hal itu bisa kita lihat dari langkah negara Malaysia yang menjadi penghasil minyak sawit terbesar ke 2 di dunia ini dalam mengatasi persoalan masalah pada industri perkebunan sawit nya dengan melakukan perawatan pada perkebunan sawit, penggunaan pupuk yang optimal dan pemanenan sawit yang tepat. (*)

*) Penulis : Anisa, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya, dalam rangka tugas Mata Kuliah Hukum Administrasi Negara.

 

TONTON JUGA BERITA VISUAL LAINNYA di 

KALTENGNEWS TV 

Yundhy Satrya ^ Kaltengnews.co.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!