Pemprov Kalteng Lepas 14 Armada Bus untuk Program Mudik Gratis Idulfitri 1446 H
Legenda Dayak Ot Siau dan Ot Bukot, Suku Primitif Berbetis Merah

FOTO : Seniman lokal Desa Tumbang Habangoi saat menarikan tarian tradisional.
TRADISI : Bagi suku Dayak Ot Danum, sejarah atau legenda warisan nenek moyang mengandung filosofi tersendiri. Agar tetap lestari, biasanya digambarkan melalui gerak tari-tarian.
Oleh : ANGGRA DWINIVO
Kendati belum ada jurnal maupun laporan ilmiah yang membenarkan keberadaan dua suku Dayak terasing itu, namun masyarakat adat Desa Tumbang Habangoi Kecamatan Petak Malai masih mempercayainya hingga kini. Masyarakat lokal menyebutnya sebagai suku Dayak Ot Siau dan Ot Bukot. Keduanya masih rumpun atau golongan sub suku Dayak Ot Danum. Suku yang masih mendiami jantung Kalimantan di sekitar kawasan pegunungan Muller-Schwaner. Selama berabad-abad, mereka memilih hidup menyendiri dan menolak kemajuan zaman. Bahkan tidak mengakui adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dewasa ini.
Di Kalimantan Timur, masyarakat adatnya menamai suku tersebut sebagai Dayak Punan Merah (Ot Siau) atau Punan Kaki Merah. Hal itu merujuk pada ciri fisik anggota sukunya, yakni memiliki kedua betis kaki berwarna merah. Suku pedalaman itu masih mempertahankan cara hidup yang sangat sederhana, bahkan bisa dikatakan primitif. Cerita-cerita tersebut berkembang dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi. Bahkan dihampir semua sub suku Dayak Ot Danum, memiliki kisah dan mitos yang hampir mirip.
Hingga kini, keberadaannya suku Ot Siau dan Ot Bukot masih diselimuti misterius. Lantaran informasi kebenarannya masih berdasar pada cerita yang diturunkan melalui penuturan langsung. Walaupun belakangan, muncul beberapa pengakuan masyarakat lokal yang merasa pernah bertemu secara langsung.
Di pagi buta itu, mitos tersebut coba digali wartawan secara lebih mendalam. Beruntung, tokoh pemuda sekaligus Kepala Desa Tumbang Habangoi, Yusup Roni Hunjun Huke bersedia berbagi kisah seputar suku terasing tersebut. Menurutnya, ciri fisik suku Dayak Ot Siau dan Ot Bukot layaknya manusia pada umumnya. Hanya saja karakteristik suku Ot Siau bakal lebih mudah dikenali. Sebab mereka memiliki ciri fisik yang cukup unik, yaitu kedua belah betisnya berwarna merah menyala. Warna kulit tak lazim itu, sengaja mereka warnai dengan memanfaatkan zat pewarna alami daun Saronang atau Jarenang. Bahkan seluruh bagian anggota tubuh lainnya nampak menyala dikegelapan. Hal itu diduga akibat reaksi kimia lapisan fosfor yang mereka dapat dari sejenis jamur. Berdasar sejarahnya, suku ini disebut Ot Siau lantaran memiliki kemiripan dengan seekor burung Siau, baik secara fisik maupun kelebihan kemampuan lainnya.
Kendati hanya sebatas mendengar cerita dari mulut ke mulut. Namun masyarakat yang pernah menjumpai suku ini masih meyakini, bahwa kelangsungan hidup kelompok suku Dayak Ot Siau dan Ot Bukot masih terjaga hingga sekarang. Penyebarannya melingkupi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Atau berada di sekitar kawasan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) Kabupaten Katingan. Tepatnya beraktivitas di sekitar kaki Bukit Raya.
“Kedua suku ini hidup mengembara jauh di pedalaman hutan, dan mereka membentuk komunitasnya sendiri. Mereka tinggal di dalam goa-goa, di sekitar kaki bukit,” sebut Yusup Roni.
Layaknya suku primitif lainnya, kelangsungan hidup suku ini sangat bergantung dengan melimpahnya kekayaan hutan, seperti berburu ataupun mengumpulkan tumbuh-tumbuhan hasil alam lainnya. Lantaran mereka tidak menerapkan pola bercocok tanam maupun perladangan sama sekali.
“Kalau sering ke hutan, biasanya warga yang bawa garam, tembakau atau makanan yang unik-unik lain, anggota suku ini sering meminta (mengambil) tanpa sepengetahuan kita alias kasat mata. Jadi kalau ada yang hilang, harap diam dan anggap wajar saja. Jangan sampai mengeluh, karena mereka akan marah, dan biasanya melempar kita dengan batu,” tuturnya.
Menurut pengakuan warga desa yang sering mengumpulkan hasil hutan, baik berburu binatang, sarang burung walet, damar maupun getah pohon gaharu. Sesekali mereka mengetahui ciri-ciri keberadaan aktivitas kedua kelompok suku tersebut di hutan. Seperti meninggalkan patahan ranting, jejak kaki, dan lain sebagainya.
“Ranting sengaja patahkan ranting seukuran kelingking, sebagai pertanda bahwa di sekitar kawasan itu ada mereka. Memang sangat sulit melihatnya secara langsung, karena mereka memang tidak suka bergaul dengan kita secara nyata. Itu karena mereka mempunyai ilmu untuk menghilangkan diri dan goa-goa tempat tinggalnya,” ungkapnya.

Kelebihan suku Ot Siau dan Ot Bukot ini, yaitu menguasai kata lamunan atau akrabnya disebut mantra sihir untuk menghilangkan raga di balik hutan. Bekas jejak aktivitas suku ini, sebutnya, sering ditemukan warga di sekitar Puruk Sarwawu di kaki Bukit Raya.
“Meskipun sesama suku Ot Danum. Tapi mereka tidak pernah mau bertemu, bahkan bersosialisasi dengan manusia selain komunitasnya sendiri. Karena mereka sudah disumpah,” ujar Yusup.
Bagi anggota yang melanggar sumpah tersebut, katanya, maka akan di keluarkan selamanya dari komunitas suku. Selain itu, wajib menanggalkan berbagai ilmu kesaktian yang sudah diwariskan kepadanya. Dilarang berhubungan dan membocorkan lokasi komunitas kepada siapapun. Dan biasanya, sumpah sakral itu bakal mereka jaga sampai mati.
“Itu merupakan kisah dari salah satu anggota suku Ot Siau yang memilih hidup bersama warga lainnya. Walaupun tal lagi berhubungan, tapi bagi mereka sumpah adalah sumpah dan larangannya harus dipatuhi,” katanya.
Tolak Hidup Berdampingan, Dipercaya Sakti Mandraguna
Sehari-harinya, anggota suku Ot Siau dan Ot Bukot digambarkan selalu mengenakan pakaian yang terbuat dari kulit kayu sederhana. Mereka juga dibekali keahlian berjalan cepat di antara tebing-tebing dan rimbunnya pepohonan di dalam hutan. Selebihnya mempunyai kesaktian meringankan tubuh, selayaknya seekor burung Siau yang mampu hinggap di pucuk daun.
“Kalau ada sungai yang lebarnya 20 sampai 30 meter, mereka sanggup menyeberangi dengan sekali lompat saja. Selain itu, pergerakan mereka sangat gesit di hutan. Lalu memiliki stamina dan kekuatan fisik di atas rata-rata manusia normal,” tuturnya.
Kelebihan lain yang dimiliki anggota suku terasing ini, yaitu mempunyai indra penciuman yang sangat tajam. Berkat daya pengindraan itu, mereka dengan mudahnya mendeteksi adanya binatang buruan maupun keberadaan orang asing dari kejauhan.
“Sama seperti binatang, mereka juga mengandalkan indra penciuman untuk berburu di hutan. Jadi wajar, kalau keberadaannya tidak pernah ditemukan. Karena dari jarak ratusan meter ada aktivitas manusia, mereka langsung menjauh atau menghilangkan perkampungannya secara gaib,” terang Yusup Roni.
Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti bahasa apa yang digunakan suku Dayak Ot Siau dan Ot Bukot sehari-hari. Namun kecenderungan menggunakan bahasa Ot Danum, walaupun dimungkinkan adanya perbedaan dialek. Mengingat, kedua kelompok itu merupakan bagian dari keluarga besar sub suku Dayak Ot Danum.
Cerita lain menyebutkan, sejak berabad lalu suku Ot Siau dan Ot Bukot terpaksa mulai menjauhi peradaban manusia, dan memilih mendiami goa-goa di hutan. Hal itu lebih disebabkan atas desakan pasukan infanteri militer kolonial Belanda pada zamannya. Khusus kelompok suku Dayak Ot Siau maupun Ot Bukot yang bermukim disalah satu hulu sungai di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Sebagian anggotanya, sudah memutuskan untuk hidup berdampingan dengan warga desa setempat.
“Hingga kini mereka seakan bersembunyi di dalam hutan itu dan tidak mau ditemui orang luar. Hanya orang tertentu yang bisa memanggil mereka, contohnya saat kondisi sedang perang lalu meminta bantuan mereka. Kalaupun mereka turun gunung, itu berarti kondisinya sudah darurat, misalnya tragedi di Sampit beberapa tahun lalu,” imbuhnya.
Hingga kini, warga desa yang sering bolak-balik pengumpul hasil hutan, belum pernah sekalipun merasa terancam dengan keberadaan suku primitif itu. Terutama dari kelompok suku yang mendiami sekitar kaki Bukit Raya maupun suku yang berada di hulu Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Sampai saat ini, diperkirakan populasi suku Dayak Ot Siau dan Ot Danum yang tersebar di jantung Kalimantan mencapai ratusan kepala keluarga.
“Selama ini kami hidup secara damai berdampingan. Saling menghormati, menjaga sopan santun, dan tidak pernah sekalipun mencoba mengganggu keberadaan mereka,” timpalnya.
Kendati demikian, katanya, masa-masa kelam sebelum lahirnya kesepakatan Rapat Damai Suku Dayak pada 22 Mei hingga 24 Juli tahun 1894 di Tumbang Anoi Kabupaten Gunung Mas. Dayak Ot Siau maupun Ot Bukot bukanlah suku yang ramah, sekalipun kepada masyarakat adat Tumbang Habangoi (Dayak Dohoi).
“Kalau bertemu manusia seperti kita sekarang ini, pasti akan terjadi peristiwa saling bunuh. Dan biasanya yang menang adalah mereka, karena mereka larinya cepat, ringan dan sakti,” ungkapnya.
Pada zaman itu, jelasnya, pertikaian antar dan sesama suku Dayak memang kerap terjadi. Terutama yang berhubungan dengan tradisi ‘mengayau’ atau berburu/memenggal kepala manusia. Rapat akbar dan paling bersejarah itu, dihadiri ribuan orang dari 152 suku Dayak di Pulau Kalimantan, termasuk utusan dari kedua suku tersebut. Dan hingga saat ini, suku Dayak Ot Siau dan Ot Bukot, maupun Ot Danum/Dohoi masih memegang teguh sumpah perdamaian tersebut.
“Selepas perjanjian damai itu, maka terjalinlah persatuan dan persaudaraan antarsuku-suku Dayak. Sampai saat ini pun, tidak ada lagi pertikaian atau konflik. Kalau pun ada, itu bukan perang antarsuku. Karena orang Dayak akan memegang teguh janji itu sampai kapanpun oleh anak cucu kelak,” pungkasnya. (agg)