FOTO : ANGGRA DWINIVO / ARSIP
PENCURIAN – Nampak jelas guritan sisa gergaji yang memotong Sapundu di komplek Sandung Hai Desa Tumbang Lahang, Kecamatan Katingan Tengah, Kabupaten Katingan.
Penulis : ANGGRA DWINIVO
DESA Tumbang Lahang merupakan satu dari sekian banyak kampung yang mempunyai peradaban suku Dayak yang cukup tua di Kabupaten Katingan. Letaknya memanjang mengikuti bantaran DAS Katingan. Kini, desa seluas 6.100 hektare dan berpenduduk 1.574 jiwa itu harus dihadapkan dengan kawanan pencuri yang menjarah berbagai situs kebudayaan masyarakat lokal setempat, terutama Sapundu.
Bagi masyarakat Dayak, Hampatung atau patung merupakan hasil ciptaan asli leluhur di Kalimantan Tengah. Berdasarkan pembuatannya, patung dikategorikan menjadi beberapa fungsi, diantaranya sebagai lambang kesuburan, sarana pengobatan, tolak bala, media pemujaan, dan upacara kematian. Kebudayaan Dayak jenis ini sangat erat kaitannya dengan mitologi kepercayaan Kaharingan yang sekarang sudah terafiliasi dengan agama Hindu.
Suku Dayak yang masih menganut kepercayaan leluhur atau Hindu Kaharingan, Sapundu tidak sekadar pelengkap ritual kematian. Melainkan sebagai penghormatan terhadap roh dari orang yang telah meninggal. Tanpa Sapundu, berarti tak ada yang menjadi pengawal roh menuju lewu tatau (surga).
Sapundu hanya akan dibuat ketika pihak keluarga melaksanakan ritual Tiwah. Tiwah sendiri merupakan sebuah upacara ritual Kaharingan untuk mengantarkan roh orang yang telah meninggal menuju kehidupan abadi. Secara fisik, Sapundu berbentuk sebuah tiang yang biasanya terbuat dari kayu besi atau lebih dikenal sebagai ulin. Kayu kemudian diukir sedemikian rupa, sehingga mampu menggambarkan sosok atau kebiasaan almarhum yang akan di Tiwah kan tersebut. Sapundu biasanya berbentuk patung laki-laki maupun perempuan.
Sapundu juga berfungsi sebagai tempat mengikat hewan korban, seperti kerbau, sapi, atau babi dalam suatu acara adat tiwah. Karena sifatnya sebagai pengikat hewan korban pada upacara tiwah, sapundu biasanya ditempatkan di lokasi pelaksanaan tiwah. Setelah upacara selesai, Sapundu kemudian dicabut lalu didirikan kembali di depan sandung keluarga yang ditiwahkan.
Sapundu harus di tempatkan berdampingan dengan Sandung atau replika rumah panggung yang menjadi tempat tulang belulang orang yang talah jalani ritual Tiwah. Ini sebagai bentuk pengawalan sapundu terhadap roh menuju alam surga. Sapundu bagi masyarakat Dayak merupakan benda yang sakral yang dikeramatkan.
Namun sayang, keberadaan patung Sapundu dewasa ini semakin terancam oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Panjangnya proses serta tingginya nilai historis kebudayaan Dayak ini, membuat Sapundu digemari pecinta barang-barang antik. Bagi mereka, Sapundu hanya sebatas ukiran patung yang bernilai seni tinggi. Keberadaannya pun mulai dilirik segelintir kalangan untuk tujuan komersil. Alhasil, kini Sapundu mulai memiliki nilai jual yang cukup tinggi di pasar gelap.
Berdasarkan keterangan juru pelihara komplek situs Sandung Hai Desa Tumbang Lahang, Mihing Antang. Sejak beberapa tahun terakhir di wilayahnya kerap menjadi target operasi kawanan maling. Sedikitnya terdapat tiga kasus pencurian Sapundu di komplek situs budaya tersebut.
“Tahun 2008 ada satu dan kasus yang beruntun itu sejak 2016 dan awal 2017. Mereka biasanya hanya memilih Sapundu yang berusia seratus tahun ke atas. Sapundu yang hilang di komplek ini bahkan ada yang sudah berusia 120 tahun,” ungkapnya.
Menurutnya, pencurian di komplek situs budaya yang kini dikelola oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Katingan itu bukanlah kasus yang pertama. Bahkan sebelumnya, puluhan Sapundu milik masyarakat Desa Tumbang Lahang lainnya juga pernah dilaporkan hilang.
“Kejadian ini sudah lama terjadi, tapi belum tahu siapa yang mencuri karena pelakunya tidak pernah tertangkap. Jangankan Sapundu masyarakat biasa, situs yang sudah dipagari seperti inipun mereka curi,” kesalnya.
Kakek 74 tahun ini menuturkan, berdasarkan informasi yang diterimanya, patung Sapundu kemungkinan dijual ke luar pulau bahkan sampai mancanegara. Hal itu diperkuat dari keterangan salah satu warga setempat yang mengaku mengenali sebuah Sapundu yang terpajang disebuah hotel di Bali.
“Kabarnya mereka hanya mau membeli Sapundu yang sudah berusia tua, sedikit keropos tapi tetap berbentuk. Saya tidak dapat memastikan berapa jumlah keseluruhan Sapundu yang hilang, yang pasti puluhan,” katanya.
Mihing Antang mempercayai jika patung-patung Sapundu tersebut masih memiliki roh dari orang yang meninggal dunia. Kesakralan Sapundu membuatnya dihargai mahal di pasar gelap. Pasalnya, untuk regional Provinsi Kalimantan Tengah saja, harga jual Sapundu bisa mencapai Rp25 juta per patung. Harga akan semakin meroket ketika berhasil lolos hingga ke luar negeri.
“Luar pulau atau mancanegara bisa sampai ratusan juta. Tapi ini kata orang juga, saya belum tahu pastinya berapa,” katanya.
Sebelum melakukan aksi, para penjarah biasanya melakukan serangkaian survei ke lapangan untuk mengambil foto. Foto tersebut kemudian ditawarkan kepada calon pembeli, apabila harga sudah disepakati barulah aksi pencurian dilakukan.
“Jadi tidak mengambil banyak Sapundu sekaligus. Intinya hanya mengambil yang sesuai pesanan. Dari jejak kaki, saya perkirakan ada sekitar empat orang yang pencuri,” sebutnya.
Berdasarkan pengalaman, hujan lebat disertai gemuruh guntur merupakan waktu yang tepat untuk melancarkan pencurian, terlebih ketika Desa Tumbang Lahang dan sekitarnya sedang mendapat pemadaman listrik.
“Saya tidak berani memastikan, tapi kecurigaan pasti ada dengan anak-anak nakal di sini. Mereka memotong Sapundu dengan gergaji listrik, makanya nunggu hujan lebat baru beraksi. Agar suaranya tidak didengar orang,” imbuhnya.
Hingga saat ini, di situs Sandung Hai Tumbang Lahang hanya tersisa sebanyak tujuh Sapundu dalam kondisi baik yang masih berdiri. Sedangkan Sapundu yang berusia lebih lama, sudah mengalami kerusakan akibat pelapukan. Selain itu juga memiliki empat buah Sandung yang masih terawat dengan baik.
“Sandung yang paling besar di sini milik almarhum Damang Sindi. Kemudian milik Singka yang merupakan perintis berdirinya komplek ini. Sebenarnya situs ini milik satu keluarga saja,” jelasnya.
Atas sejumlah pencurian itu, dirinya selaku pengelola dan keturunan langsung pemilik situs Sandung Hai merasa dirugikan. Bukan dari segi materil, namun lebih kepada moril selaku pemilik warisan kebudayaan Dayak tersebut.
“Situs ini terbuka bagi siapapun yang ingin berkunjung, biasanya didatangi anak-anak sekolahan,” ucapnya.
Dirinya berharap kepada pihak kepolisian setempat agar segera membongkar sindikat pencurian situs budaya yang sudah meresahkan masyarakat tersebut. Karena tidak menutup kemungkinan, situs budaya lain seperti Sandung akan menjadi target pencurian dimasa akan datang.
“Setiap ada kasus selalu kami laporkan baik kepada polisi atau pemerintah. Dengan segala keterbatasan, saya juga terus memonitor situs budaya ini agar tidak dicuri lagi,” harapnya.
Pada hakekatnya, Sapundu merupakan satu dari sekian banyak kekayaan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang suku Dayak sejak dahulu kala. Sapundu merupakan sesuatu yang bersifat sakral dan mempunyai nilai filosofi yang sangat tinggi.
Kebudayaan Dayak jenis ini merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, dan merupakan identitas kabupaten berjuluk Penyang Hinje Simpei. Sudah saatnya Pemerintah Daerah Kabupaten Katingan beserta masyarakatnya mulai menyatukan persepsi, akan pentingnya menjaga kelestarian situs budaya yang tak ternilai harganya tersebut. (agg)