Kisah Jurnalis Lahap Medan Ekstrem ‘Bukit Bulan’ Katingan

FOTO : ANGGRA DWINIVO

PUCAK BUKIT – Keberhasilan penulis mendaki Puncak Bukit Bulan diabadikan melalui momen foto bersama, Selasa (20/12/2016) pagi.

 

Penulis : ANGGRA DWINIVO

Dengan luas sekitar 568.700 hektare, Taman Nasional Sebangau memang menyimpan beragam kekayaan alam. Kawasan ini merupakan hutan rawa gambut yang masih tersisa di Kalimantan Tengah setelah gagalnya ‘Mega Rice Project’ yang dikenal dengan ‘Lahan Sejuta Hektare’ pada tahun 1995 silam. Letaknya tepat diantara Sungai Sebangau dan Sungai Katingan. Menteri Kehutanan pada saat itu menunjuk Sebangau sebagai kawasan Taman Nasional ke-50 pada 19 Oktober 2004 melalui Surat Keputusan Nomor 423/Menhut-II/2004. Sebelum terbentuknya Taman Nasional, kawasan Sebangau merupakan hutan produksi yang dikelola oleh beberapa HPH sebagai penghasil kayu. Sehingga pembalakan liar merajalela setelah berakhirnya ijin HPH di kawasan tersebut. Taman Nasional Sebangau merupakan kawasan yang dilindungi, karena adanya spesies orangutan dan spesies lainnya seperti bekantan, beruang madu, owa-owa, burung enggang dan harimau dahan.

Sampai saat ini, TN Sebangau lebih dikenal sebagai surganya orangutan dan rawa gambut yang sangat luas. Namun di samping itu, ada potensi lain yang tak kalah menakjubkan dari kawasan yang mencakup Kota Palangka Raya, Pulang Pisau dan Kabupaten Katingan ini, yaitu keberadaan Bukit Bulan. Ya, Bukit Bulan memang tidak begitu familiar di telinga masyarakat Kalimantan Tengah bahkan bagi warga Katingan sekali pun. Secara administratif, bukit ini berada di wilayah Desa Tumbang Bulan, Kecamatan Mendawai, Kabupaten Katingan. Selain lokasinya yang berada tepat di jantung taman nasional, akses menuju bukit itupun terbilang cukup sulit. Keberadaan bukit batu yang menjulang setinggi 150 meter ini, sering dianggap tidak lazim. Terlebih, posisinya yang berada di tengah-tengah rawa gambut. Karakteristiknya jauh berbeda seperti bukit pada umumnya. Mungkin itulah yang menarik perhatian Bupati Katingan kala itu, H. Ahmad Yantenglie untuk menjelajahinya.

Pada Senin (19/12/2016), orang nomor satu di Bumi Penyang Hinje Simpei (motto Kabupaten Katingan) itu secara resmi melepas 184 peserta Ekspedisi Bukit Bulan di halaman Rumah Jabatan Bupati setempat. Bupati yang semula berencana memimpin tim ekspedisi pendakian ke Bukit Bulan tiba-tiba membatalkan niat. Lantaran dihari yang bersamaan harus menghadiri dan menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo di Kota Palangka Raya dan penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tahun 2017 kepada Gubernur Kalteng, H. Sugianto Sabran keesokan harinya. Sehingga beliau hanya sempat mengantarkan rombongan sampai ke Desa Tumbang Bulan dan bergegas kembali ke Kota Kasongan pada malam harinya.

Dari Kasongan, perjalanan menuju Desa Tumbang Bulan dapat ditempuh melalui jalur sungai ke arah selatan dengan menggunakan perahu cepat. Waktu tempuh memakan waktu sekitar 4 sampai 5 jam. Sedangkan kapal Landing Craft Tank (LCT) atau perahu angkutan alat berat yang dipergunakan untuk membawa ratusan peserta memakan waktu hingga 8 jam untuk sampai ke Desa Tumbang Bulan. Ratusan peserta diinapkan di rumah-rumah warga setempat.

Keesokan paginya, Selasa (20/12/2016) tim diberangkatkan menuju Base Camp Beruang milik WWF Indonesia Kalteng di TN Sebangau dengan menyusuri Sungai Bulan selama kurang lebih 2 jam. Disepanjang sungai selebar 20 hingga 30 meter tersebut, peserta disuguhi panorama alam yang cukup memukau. Sungainya masih terjaga dan begitu bersih. Hampir tidak ditemukan adanya sampah yang merusak pemandangan. Airnya berwarna hitam kemerahan khas rawa gambut. Sesekali Bekantan dan Monyet Ekor Panjang menampakan diri dari balik pepohonan. Satwa di sini sepertinya belum terbiasa dengan kehadiran manusia. Bisingnya suara mesin perahu kelotok sempat membuat kabur satwa dilindungi tersebut. Bagi yang belum terbiasa, jalur menuju Bukit Bulan cukup membingungkan. Makin jauh ke dalam, sungainya makin mengecil. Tumbuhan sejenis pandan berduri tumbuh lebat disepanjang aliran sungai. Di beberapa titik, tumbuhan berbuah mirip nangka seukuran buah nanas muda itu bahkan sempat menutupi seluruh badan sungai. Dibutuhkan motoris handal untuk menerobos masuk disela-sela tumbuhan berduri tajam itu.

Pukul 11.30 WIB, rombongan akhirnya tiba di Base Camp Beruang untuk istirahat makan siang. Perjalanan berlanjut. Dari sini, puncak Bukit Bulan mulai menampakan jati dirinya. Sekitar 15 menit, tim ekspedisi akhirnya sampai di tempat perhentian. Ketika itu debit air sungai sedang surut. Perahu kelotok terpaksa singgah di atas rawa berlumpur. Di sini, tidak ada dermaga maupun bangunan yang layak untuk menurunkan penumpang. Ratusan peserta memutuskan bercebur dan melanjutkan dengan berjalan kaki. Peserta berperang melawan lumpur dalam dan air setinggi pinggul orang dewasa. Medan berat sepanjang 300 meter itu harus dilalui dengan susah payah. Tidak sedikit peserta yang kesulitan melalui jalur ini. Stamina yang dipersiapkan jauh-jauh hari habis seketika. Memang untuk bisa sampai ke kaki bukit, hanya berjarak 4 sampai 5 kilometer. Namun peserta harus melalui beberapa medan yang cukup berat, seperti melalui rawa berlumpur, tanah berpasir, pepohonan tumbang, semak belukar hingga tebing bukit yang memiliki kemiringan 90 derajat.

Sepanjang mata memandang, nyaris tidak ada jalan masuk sama sekali. Hanya terlihat pepohonan tumbang dan sisa-sisa kebakaran hebat di tahun 2015 lalu. Satu-satunya peluang melewati medan ini yaitu dengan meniti satu persatu pohon lapuk. Tanda jalan yang buat tim pendahulu nyatanya tak begitu membantu. Banyak peserta yang kehilangan arah. Mereka membuat jalur sendiri. Enggan berputar arah ke jalur yang sudah ditentukan. Hampir disepanjang perjalanan, tidak ada satupun tempat bernaung dari teriknya terpaan sinar matahari siang. Bekal air minum seketika habis sebelum sampai pos pertama di kaki bukit. Tak ayal, genangan air gambut yang kotor pun menjadi konsumsi massal ratusan peserta.

Tepat pukul 16.00 WIB, dari 184 peserta hanya 15 orang diantaranya yang berhasil memuncaki Bukit Bulan. Kebanyakan merupakan peserta yang berasal dari masyarakat umum dan pemuda. Satu diantaranya merupakan seorang atlet pelari wanita yang sempat membela Bumi Penyang Hinje Simpei pada Pekan Olahraga Tingkat Provinsi (Porprov) Kalteng beberapa waktu lalu. Sedangkan sisanya masih berkutat dengan kelelahan menaklukan medan lumpur dan pohon tumbang di rawa gambut yang begitu berat.

Trek mendaki puncak Bukit Bulan cukup ekstrem. Walau hanya setinggi 150 meter, namun sebagian besar merupakan tebing batu dengan kemiringan antara 60 sampai 90 derajat. Tekstur tanah cukup licin. Risiko terpeleset dan jatuh ke lembah menghantui setiap langkah. Hanya tongkat dan akar kayu yang cukup membantu. Dipertengahan jalan, sesekali dering handphone berbunyi. Sinyal seluler nyatanya tertangkap di bukit ini. Seiring banyaknya peserta yang mengirim pesan singkat maupun telepon, sinyal berangsur tenggelam. Di atas  bukit, rasa penasaran memuncak setelah mengingat cerita masyarakat lokal bahwa ditemukan adanya tanaman cabai, terong dan pohon nangka berbuah lebat di bukit itu. Setelah dijelajahi dan mengorek informasi dari berbagai pihak, memang benar informasi itu. Namun tidak berada di Bukit Bulan, melainkan di Bukit Ulin yang jaraknya sekitar 13 kilometer ke arah utara. Mitosnya, pohon cabai yang dimaksud berukuran tak lazim. Diameter batangnya seukuran pinggang orang dewasa dan berbuah lebat. Saking besar dan kokohnya, pohon cabai itu bahkan sanggup dipanjat. Konon, tanaman-tanaman itu tidak sengaja ditumbuh oleh para pembalak kayu diawal tahun 1970 hingga 1980 an. Mereka hidup berbulan-bulan di bukit itu.

Hingga pukul 18.00 WIB, ada sekitar 80 peserta yang berhasil taklukan Bukit Bulan dan memutuskan bermalam di pucuk bukit kebanggan warga Desa Tumbang Bulan tersebut. Padahal kapasitas tampungnya hanya untuk 30 orang saja. Di atas, panitia sudah menggelar alas terpal seukuran 15 x 20 meter. Sisanya membuat tenda darurat masing-masing. Minimnya bekal air bersih sempat memaksa sebagian peserta kesulitan bertahan hidup di puncak. Sumber air terdekat jaraknya sekitar 200 meter menuju kaki bukit. Opsi itu enggan ditempuh mengingat risiko tersesat dan insiden terjatuh begitu besar. Air bersih begitu berharga saat itu. Melalui alat komunikasi Handy Talky (HT), anggota Satpol PP yang berada di puncak bukit saling memberi kabar. Ternyata hingga pukul 19.30 WIB, masih ada peserta yang belum sampai di pos kaki bukit. Tim keamanan dibantu tim pendahulu bergegas putar arah menyusuri kegelapan malam mencari keberadaan mereka. Sekitar 20 orang ditemukan masih berkutat di jalur pohon tumbang. Kelelahan begitu terasa, hingga akhirnya salah seorang peserta perempuan pingsan dan harus ditandu menuju pos kaki bukit. Semuanya sampai dengan selamat sekitar pukul 21.00 WIB.

Tidak ada yang spesial malam itu. Hanya kicauan burung malam yang terdengar. Beberapa kali terdengar gemuruh suara kapal terbang yang melintas di angkasa. Wajar, TN Sebangau merupakan rute penerbangan Palangka Raya – Surabaya. Kelelahan membuat semua peserta memutuskan tidur lebih awal untuk memulihkan stamina. Malam begitu panas di puncak bukit. Jaket tebal dan selimut sekedar melindungi kulit dari serangan nyamuk dan serangga malam. Bukit Bulan merupakan bukit yang cukup unik, lantaran keberadaannya terletak di tengah-tengah lahan rawa gambut. Dari atas bukit, kita bisa melihat fisik Bukit Tangkiling, Bukit Ulin dan Bukit Kaki di Kecamatan Katingan Kuala. Meskipun samar, malam harinya kita bisa melihat terangnya cahaya Kota Palangka Raya. Sebab Bukit Bulan informasinya hanya berjarak sekitar 80 kilometer dari kota cantik itu.

Rabu (21/12/2016) sekitar pukul 02.00 WIB, peserta yang tak kebagian tenda terbangun dari mimpi singkat. Hujan gerimis turun tiba-tiba. Barang-barang dikelompokkan agar tak kebasahan. Sebagian lagi meramu perlengkapan yang tersisa untuk menampung air hujan sedemikian rupa.

Sebelum mentari pagi memancarkan sinarnya, kelompok peserta yang memutuskan bermalam di pos kaki bukit satu persatu mulai mendaki untuk mengabadikan momen sunrise atau matahari terbit. Di puncak, ratusan peserta saling berjejal untuk sekedar antre berfoto. Sedangkan sebagian lagi memutuskan balik lebih awal agar tidak kesiangan di jalur pohon tumbang dan lumpur rawa gambut. Pulangnya, beban logistik makanan sudah habis dan tak lagi menjadi keluhan. Hanya makanan ringan tinggi kalori seperti wafer cokelat untuk memulihkan tenaga di pagi itu. Jalan pulang tak seaman waktu mendaki. Tanah di lereng bukit makin licin setelah dilalui ratusan pasang kaki. Kehati-hatian dalam melangkah sangat dianjurkan jika tidak ingin berhadapan dengan celaka. Perasaan kaget seketika memuncak saat melihat hutan di sekeliling Bukit Bulan menggundul akibat kebakaran beberapa tahun lalu.

Sepanjang perjalanan, tenda-tenda peserta berdiri di jalur turun bukit. Ternyata mereka memutuskan bermalam di situ lantaran kelelahan. Sedangkan di pos kaki bukit, sebagian peserta mulai bergegas mempersiapkan sarapan pagi. Hanya mie instan dan ikan kalengan yang dimakan sebagai modal pulang menaklukan medan berat Bukit Bulan. Pukul 08.00 WIB, peserta yang sudah siap diintruksikan berangkat pulang lebih dulu agar tidak menumpuk di pos kaki bukit. Lantaran beratnya medan, tidak sedikit sepatu dan sandal gunung peserta yang rusak. Lem perekat pada sol sepatu tak sanggup meladeni medan. Bagi peserta yang nahas itu, mereka terpaksa bertelanjang kaki menyusuri jalan. Tak ayal, tajamnya ranting dan patahan kayu membuat banyak cidera. Mimik perihnya luka tenggelam begitu saja, yang ada hanya raut wajah kelelahan dan dehidrasi.

Selama 4 jam menyusuri jalur pohon tumbang, tak menyurutkan semangat peserta untuk menanam 500 bibit pohon Pantung yang disiapkan panitia. Pohon pantung memang tumbuhan endemik di kawasan itu. Harapannya bibit pohon itu mampu tumbuh dan berkembang merestorasi hutan yang telah gundul. Di areal itu, keberadaan pohon pantung cukup sulit ditemukan.

Sekitar 30 menit, misi restorasi sukses. Bibit pohon ludes ditanami peserta. Dari kejauhan, kapal motor mulai menampakan wujudnya. Deru suara mesin yang memaksa lumpur rawa gambut membuat gembira peserta. Seperti diawal, ratusan peserta kembali dihadapkan jalur ekstrem. Lumpur dalam sepanjang 300 meter itu seperti perangkap tikus. Nyaris tidak ada akal selain menyusurinya. Terik matahari tepat diubun-ubun. 20 menit merupakan waktu tercepat untuk sampai ke perahu kelotok. Seiring kapasitas penumpang terisi penuh, tantangan tak lantas berakhir. Perahu motor tak jua mau bergerak meski kecepatan mesin terus dipaksa. Pembagian beban pun dilakukan, sebagiannya terjun mengurangi beban dan membantu mendorong.

Perasaan bahagia bercampur haru menyelimuti mereka saat perahu melaju bebas. Meski tak sedikit yang mengkhawatirkan rekan-rekan lainnya yang masih berjuang untuk bisa sampai ke pos jemputan. Kelompok pertama sampai di Base Camp Beruang milik WWF sekitar pukul 12.30 WIB. Kemudian satu demi satu perahu motor lainnya tiba. Hingga pukul 16.00 WIB, akhirnya kelompok terakhir pun tiba. Perjalanan menuju Desa Tumbang Bulan dilanjutkan. Sepanjang perjalanan peserta disuguhi penampakan kelompok-kelompok bekantan dan monyet ekor panjang.

“Medannya luar biasa berat, tidak pernah saya alami sebelumnya. Biasanya saat menuju bukit identik dengan pepohonan yang rindang, tapi Bukit Bulan tidak seperti itu,” keluh Suseno Arianto peserta asal PWI Katingan.

Dia berpesan agar pengunjung yang hendak mendaki untuk mempersiapkan persedian air minum yang banyak, sebab tidak ada sumber air bersih di sana. Dibutuhkan stamina dan fisik prima, sehingga pengalaman mendaki Bukit Bulan ini menjadi salah satu pengalaman yang sangat berharga.

Namun, katanya, momen-momen saat pendakian tidak akan terlupa. Dari pengalaman itu dirinya mengenal makna hidup kesederhanaan, kebersamaan dan lebih mencintai lingkungan. Peserta saling sapa untuk membangkitkan semangat, walaupun tidak saling kenal.

“Sebenarnya ada beberapa teman kita yang sudah tidak kuat melanjutkan perjalanan. Tapi motivasi dan bantuan dari rekan-rekan lainnya membangkitkan semangatnya menuntaskan misi pendakian. Di sini arti kekompakan yang sebenarnya,” ungkap Seno.

Berdasar obrolan bersama pengelola WWF Indonesia Kalteng sebelumnya, diketahui fakta bahwa gundulnya hutan di sekitar Bukit Bulan itu disebabkan kebakaran besar tahun 2015 silam. Padahal dulunya ditumbuhi hutan yang cukup lebat. Sehingga sebelum bencana kebakaran itu, jalur pendakian cukup mudah dilalui. Rimbunnya pepohonan menyuguhkan indahnya keanekaragaman hayati, seperti anggrek dan tumbuhan langka lainnya. Selain itu, kicauan beragam jenis burung memulihkan rasa lelah pendakian saat itu. Namun kini kondisinya berubah 180 derajat.

“Saya berharap ada upaya perbaikan penghijauan kembali dari pemerintah daerah maupun instansi terkait lainnya agar keindahan alam di Bukit Bulan kembali seperti dulu. Karena ini merupakan aset yang sangat berharga dan harus dilestarikan,” pintanya.

Bupati Katingan kala itu, H. Ahmad Yantenglie menuturkan jika ekspedisi pendakian Bukit Raya dan Bukit Bulan selama ini bertujuan untuk persiapan menjadi objek wisata alam. Bahkan agenda ekspedisi itu bakal dilaksanakan tiap tahun, dengan objek yang berbeda-beda. Melalui kegiatan ini diharapkan mendapat dukungan semua masyarakat, baik di bidang perikanan dan pertanian. Sehingga suatu ketika pariwasata alam menjadi unggulan di Bumi Penyang Hinje Simpei itu. Maka oleh sebab itu, sejak awal masyarakat yang menjadi objek kunjungan bisa membiasakan diri melayani para tamu ke depannya.

“Sebab kalau pengunjung merasa senang dan terlayani, maka orang akan kembali datang. Positifnya masyarakat setempat bisa mendapat tambahan penghasilan, dari sisi ekonomi ada transaksi atas kunjungan wisatawan. Dan itu merupakan bukti jika pengelolaan pariwisatanya sukses,” tandasnya.

Ekspedisi Bukit Bulan di Taman Nasional Sebangau merupakan bagian yang tak terpisahkan dari program Katingan Konservasi untuk Borneo dan Kasongan Kota Hijau. Program tersebut diimplementasi dalam bentuk ekspedisi Danau Bulan dan Bukit Bulan. Itu salah satu upaya untuk mempromosikan objek wisata di daerahnya.

“Bukit Bulan ini merupakan sebuah batu atau bukit yang berada di tengah-tengah lahan rawa gambut, karena di sekitar bukit semuanya gambut dengan kedalaman di atas 20 meter. Sehingga ini merupakan sebuah keunikan dan harus diperkenalkan,” kata bupati.

Perlindungan terhadap kawasan konservasi sering di anggap sebagai ‘pembatasan’ ruang gerak masyarakat lokal yang ada di sekitarnya. Karena itu di dalam pengelolaan Taman Nasional Sebangau, dikembangkan pendekatan baru dalam pengelolaannya, yaitu dengan sistem zonasi berdasarkan proses pemetaan partisipatif, dimana terdapat kesepakatan bersama dengan masyarakat untuk menetapkan areal-areal yang merupakan wilayah tradisional masyarakat, areal yang perlu direhabilitasi dan areal inti. Namun sayangnya, dari berdirinya TN Sebangau pada tahun 2004 lalu hingga saat ini belum ada kejelasan maupun titik temu mengenai zonasi yang dimaksudkan. Padahal batasan wilayah kawasan itu penting, sebagai wujud tanggung jawab bersama dalam menjaga kelestarian wilayah dengan tetap memperhatikan pertimbangan secara ilmiah dan objektif mengenai kondisi dan kelayakan lingkungan.

Dengan adanya taman nasional, Sebangau dapat tetap terjaga kelestariannya dan sekaligus bisa memberi manfaat bagi masyarakat yang hidup di sekitarnya. Usaha penjagaan kelestarian dan pemberian manfaat sumber daya alam di kawasan Sebangau pada masyarakat sekitarnya, dilakukan oleh Balai Taman Nasional Sebangau bekerjasama dengan WWF-Indonesia. Kerja sama ini juga dikoordinasikan dengan pemerintah provinsi dan kabupaten serta dinas/instansi terkait lainnya. (agg)

0 Reviews

Write a Review

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!