Harga Beras Melejit “Pejuang Pangan” Menjerit
PALANGKA RAYA, Kaltengnews.co.id – Melejitnya (melonjak, red) harga beras di pasaran yang diketahui sebagai salah satu komoditas penyumbang inflasi secara nasional termasuk juga di wilayah Kalimantan Tengah ini, memberikan berbagai dampak bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat secara luas.
Berdasarkan pantauan lapangan, diketahui bahwa harga beras saat ini di wilayah Kota Palangkaraya juga turut meroket. Harga beras termahal yakni jenis mayang Rp26 hingga Rp28 ribu per kg, dimana sebelumnya harga beras lokal ini hanya di kisaran Rp15 ribu per kg. Sedangkan beras premium yang didatangkan dari Pulau Jawa berkisar antara Rp15 ribu hingga Rp17 ribu per kg yang harga sebelumnya berkisar antara Rp12 ribu per kg.
Ironisnya, kenaikan tersebut tak selegit (tak sejalan lurus, red) dengan harga jual gabah kering di tingkatan petani yang belakangan ini selalu berubah-ubah tak stabil bahkan cenderung terjun bebas.
Kondisi demikian, tentunya sangat menyulitkan para ‘Pejuang Pangan’ (petani, red) seolah menjerit karena dihadapkan dengan kondisi sulit, lantaran kocek (modal, red) yang harus dirogoh tak sebanding dengan laba yang didapat.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik atau BPS Kalimantan Tengah mencatat pada periode Maret 2024 inflasi Year on Year (y-on-y) Provinsi Kalimantan Tengah sebesar 2,72 persen, dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 105,96.
Dimana, inflasi y-on-y terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh naiknya indeks kelompok pengeluaran, salah satunya adalah kelompok makanan, minuman dan tembakau naik sebesar 5,65 persen.
Adapun komoditas yang dominan memberikan andil (sumbangan, red) inflasi y-on-y dari kelompok makanan, salah satunya yakni beras sebesar 0,48 persen.
Tidak stabilnya harga gabah kering di tingkatan petani ternyata juga dirasakan oleh para pejuang pangan di wilayah sentra pertanian Kalimantan Tengah, lebih tepatnya lagi bagi kawan-kawan petani di Desa Sanggang, Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah.
Seperti pengakuan Bibit Santoso, seorang petani Desa Sanggang, kelahiran Boyolali, Jawa Tengah pada 16 Agustus 1979 silam ini yang sekarang ini juga ikut merasakan situasi ini.
Pria paruh baya (45) yang bergabung kedalam kelompok tani Karya Bersama dan Muda Jaya Desa Sanggang ini mengutarakan mayoritas mata pencaharian masyarakat setempat, hampir 90 persen adalah bertani.
Diakuinya, memang belakangan ini harga beras di pasaran sempat mengalami kenaikan, namun ironi-nya, harga jual gabah kering di tingkatan petani justru berubah-ubah setiap kali waktu panen.
“Berdasarkan informasi dari teman-teman petani, harga jual gabah kering kemarin sempat menyentuh kisaran harga Rp7.000 bahkan Rp8.000 per kilogramnya, dan sekarang turun di kisaran Rp5.900 per kilogramnya. Harga jual gabah kering panen terus berubah-ubah mas, tidak ada patokan pasti,” kata Ayah dari 4 orang anak ini yang mulai fokus menjalani usaha di bidang pembenihan padi, sejak tahun 2016 lalu, saat diwawancarai melalui sambungan telepon, Sabtu (06/04/2024).
Bibit Santoso mantan pekerja di salah satu perusahaan otomotif yang ada di daerah Bekasi ini juga menyebut ada beberapa varietas padi yang dihasilkan oleh para petani di Desa Sanggang, diantaranya varietas padi Nutrijing, IR32, IR42/PB42 (Beras Pera) atau beras lokal.
Gabah hasil dari para petani, sering dibeli langsung oleh para tengkulak yang datang dari berbagai daerah dengan harga yang selalu berubah-ubah tak stabil di setiap kali waktu panen tiba.
Ia pun menceritakan harga jual gabah kering di tingkatan petani kadang bisa naik, kadang pula bisa turun. Hal itu biasanya dikarenakan oleh beberapa alasan, salah satunya yakni atas pertimbangan kuantitas hasil produksi dan waktu panen.
Apabila panen itu dilakukan di luar masa panen raya, maka kuantitas hasil panen gabahnya menjadi terbatas, otomatis harga jual gabah pun ikut naik. Begitupun sebaliknya, ketika panen dilakukan di saat musim panen raya yang hasilnya sangat melimpah maka otomatis harga jual gabah kering justru turun.
Hal itu memang sudah biasa terjadi karena mengikuti mekanisme pasar yang berlaku di tingkatan petani. “Berkenaan hal tersebut, maka saya pun meminta kepada pemerintah dan pengampu kepentingan lainnya, supaya dapat memberikan patokan harga jual gabah kering di tingkatan petani, dengan harapan harga jual gabah dapat terus terjaga stabil,” pintanya.
Menurutnya, kondisi ini menjadi dilema yang kerab dialami oleh para pejuang pangan Desa Sanggang. “Bahkan ada beberapa teman saya (petani, red) setempat yang lebih memilih untuk sementara ‘break’ atau menghentikan segala aktifitas pertaniannya, sembari menunggu harga jual gabah kering membaik,” katanya lagi.
Cukup beralasan, ada sebagian petani yang lebih memilih untuk sementara waktu menghentikan segala aktifitasnya, lantaran perbandingan kocek (modal, red) operasional yang harus dirogoh tak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh, dari harga jual gabah kering yang dirasa masih terlalu rendah.
Dalam setahun, ia mengatakan para petani setempat bisa panen 2 kali, dengan hasil produksi rata-rata 3 ton per hektarnya. Dirinya pun membeberkan biaya yang diperlukan untuk produksi per hektar berkisar Rp2 juta lebih yang digunakan untuk kebutuhan pembelian pupuk dan nutrisi tanaman. Dan, itu pun masih belum termasuk perhitungan biaya pengolahan serta pengelolaan lahan sawah yang ada.
“Sedangkan hasil bersih yang di dapat oleh para petani berkisar Rp5 juta sampai Rp7 juta per hektar, dalam setiap kali masa panen,” imbuh Pria yang saat ini telah mengelola 11 hektar lahan sawah.
Berkenaan dengan hal itu, Bibit Santoso pun berharap kepada pemerintah agar dapat lebih memperhatikan nasib para pejuang pangan yang selalu setia berjuang untuk memastikan tercukupi-nya stok bahan pangan, terutama komoditas beras dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat secara luas.
Untuk itu, ia pun menyarankan kepada pemerintah, supaya dapat meningkatkan pengawasan, memperbanyak kegiatan pemberdayaan bagi para petani, serta menetapkan regulasi terkait patokan harga gabah kering yang diharapkan dapat tetap stabil.
Karena, menurutnya dengan stok beras yang tercukupi, maka diyakini harga beras di pasaran dapat terus terkendali, laju inflasi tetap terjaga, daya beli masyarakat tetap baik, serta para pejuang pangan pun dapat semakin sejahtera.