Katingan Ternyata ‘Simpan’ Potensi Sumber Air Panas

 Katingan Ternyata ‘Simpan’ Potensi Sumber Air Panas
FOTO : Perjalanan panjang dan penuh risiko ditempuh jurnalis untuk mengabadikan foto dan tulisan tentang Sepan Apui yang berada di hulu Sungai Bemban, Kecamatan Marikit, Kabupaten Katingan.
PENULIS : ANGGRA DWINIVO
Rasa penasaran seketika memuncak setelah mendengar kabar adanya sumber mata air panas di kabupaten yang berjuluk Bumi Penyang Hinje Simpei tersebut. Ya, warga Dayak Katingan sering menyebutnya sebagai Sepan Apui. Indonesia -nya, Sepan diartikan seperti genangan atau kubangan dangkal. Sedangkan Apui dimaknai warga lokal seperti didihan atau panas ketika memasak air.
Warga lokal mempercayai air di Sepan Apui berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit, terutama penyakit yang berhubungan dengan kulit. Kendati demikian, tak sedikit pula yang menyakini air itu layaknya obat mujarab untuk berbagai penyakit yang tak mampu disembuhkan obat medis saat ini.
Belum ada penelitian maupun pengujian terhadap kandungan air tersebut. Namun yang jelas, airnya bersih dan jernih. Tidak berbau dan tidak juga berasa. Ketiga indikator itu sudah cukup memberi jaminan bahwa air di Sepan Apui bisa dikonsumsi.
Untuk bisa sampai ke lokasi, membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Dari Kasongan ibukota Kabupaten Katingan, perjalanan bisa ditempuh melalui Jalan Soekarno-Hatta atau poros utara, baik menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat hingga sampai di Desa Tumbang Kaman Kecamatan Sanaman Mantikei. Di sini, kendaraan akan menyeberangi sungai dengan menggunakan jasa angkutan kapal feri selama 5 menit menuju Desa Tumbang Manggo di kecamatan yang sama. Sampai sini, total perjalanan memakan waktu sekitar 3 jam.
Untuk melanjutkan perjalanan ke Desa Tumbang Hiran, ibu kota Kecamatan Marikit tidak direkomendasikan menggunakan kendaraan roda dua. Pasalnya, sepanjang jalan berdebu dan berlumpur, terutama saat diguyur hujan. Sehingga potensi terjatuh sangat dimungkinkan. Bahkan kendaraan roda empat sekalipun tidak memberi garansi keselamatan. Pasalnya, untuk sampai ke tujuan pengendara akan dihadapkan dengan truk-truk logging berukuran jumbo di sepanjang jalan.
Bagi yang belum terbiasa, jalan milik perusahaan HPH cukup membingungkan. Jauh berbeda dengan jalan protokol yang memiliki lajur sebelah kiri. Di sini, pengguna jalan yang sebagian merupakan masyarakat lokal wajib mengikuti aturan main tersendiri jika tidak ingin celaka. Sepanjang jalan pengendara akan diarahkan menggunakan lajur kiri maupun kanan sesuai tikungan yang bersifat pendek dan panjang. Hal itu dimaksudkan agar panjang gelondongan kayu yang diangkut truk tidak tersangkut dan membahayakan pengguna jalan lain. Dibutuhkan kendaraan yang prima untuk menaklukan medan. Pasalnya jalan akan melalui banyak bukit yang cukup curam. Jika tidak awas, kendaraan akan tergelincir dan terhempas jatuh ke dalam lembah.
Kurang lebih 2,5 jam melalui jalan perusahaan yang licin dan berbatu, pengendara akan sampai di persimpangan antara Desa Tumbang Hiran dan Desa Tumbang Tundu Kecamatan Marikit. Apabila menuju Tumbang Hiran memerlukan waktu sekitar 20 menit perjalanan. Infrastruktur di sana cukup lengkap, mulai Kantor Kecamatan Marikit, Puskesmas, sekolah, jaringan telekomunikasi nirkabel, dermaga, penginapan hingga menjual beragam kebutuhan lainnya. Ada dua akses untuk melanjutkan perjalan ke Desa Tumbang Tundu, bisa memanfaatkan perahu kelotok dari Tumbang Hiran. Estimasinya sekitar 3 jam perjalanan menyusuri DAS Katingan dan masuk ke Sungai Bemban. Atau 45 menit menggunakan kendaraan roda empat. Biasanya opsi kedua menjadi pilihan. Namun sayang, jalan cukup sempit dan licin kala itu. Lantaran jalan tak lagi dimanfaatkan pihak perusahaan untuk mengangkut hasil kayu. Melalui jalan ini, dianjurkan menggunakan kendaraan doubel gardan alias 4×4. Sebab di beberapa titik, ditemui banyak jalan yang rusak dan berlumpur dalam. Bahkan ada batang kayu berukuran besar yang roboh hingga menutupi jalan. Perbukitan makin tinggi dari sebelumnya. Di sini tidak ada lagi penunjuk lajur kendaraan. Mesin kendaraan akan dipaksa mendaki bukit terjal. Banyaknya bebatuan kian mempersulit roda untuk bekerja. Agar tidak celaka, pengemudi harus antre menunggu giliran menaklukan medan di bukit tersebut. Mendekati desa berpenduduk tak lebih dari 100 kepala keluarga itu. Mulai terlihat tanda-tanda aktivitas bercocok tanam, seperti pisang, pinang, sayur mayur dan lainnya.
Sesampainya di Desa Tumbang Tundu, hanya terlihat beberapa rumah yang muncul dari balik lebatnya pepohonan. Infrastruktur pertama yang terpantau yaitu sekolah dasar, fasilitas kesehatan dan dermaga desa. Sadar sulitnya akses, warga sekitar memanfaatkan sisa pekarangan untuk budidaya ikan patin dan sapan. Sebagian lagi bertanam holtikultura. Jarang ditemukan adanya sampah plastik seperti halnya wilayah perkotaan. Mereka biasanya memanfaatkan hasil alam untuk kebutuhan sehari-hari.
Sungai Bemban memang jauh berbeda dengan kondisi DAS Katingan yang cenderung keruh dan kotor. Anak sungai ini hanya miliki lebar antara 40 sampai 50 meter dan terus mengecil hingga ke hulu sungai. Airnya jernih dan dingin. Pertanda bahwa di sungai ini minim aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI). Untuk sampai ke Sepan Apui, lebih dulu melewati Desa Tumbang Tabulus dan Desa Batu Panahan. Ya, Batu Panahan merupakan desa terakhir di jalur Sungai Bemban. Akses satu-satunya yaitu menggunakan perahu berukuran kecil dan ramping. Warga lokal menyebutnya ces/ perahu alkon. Kapasitasnya hanya mampu membawa tiga orang dewasa, plus satu motoris. Sungainya cukup dangkal, sehingga penumpang bisa merasakan gesekan antara lambung perahu dengan bebatuan sungai. Antara Tumbang Tundu ke Desa Tumbang Tabulus hanya sejauh 8 kilometer atau memerlukan waktu sekitar 12 menit menyusuri sungai.
Di Tumbang Tabulus, rombongan ekspedisi Sepan Apui yang berjumlah 48 orang memutuskan bermalam untuk mempersiapkan bekal dan tenaga menaklukan riam Sungai Bemban yang katanya cukup ganas. Di Desa ini, penduduknya mayoritas suku Dayak Ngaju sub Katingan. Dan menganut kepercayaan leluhur, yaitu Hindu Kaharingan. Hanya ada sekolah dasar dan satu infrastruktur kesehatan di sini. Sekolahnya berada di belakang kampung, tepatnya di atas bukit setinggi 60 – 70 meter. Semua pemukiman penduduk nampak jelas terlihat dari ketinggian. Kampungnya berada di kaki bukit dan tikungan sungai. Aktivitas masyarakatnya lebih kepada berladang, beternak dan mencari hasil alam. Rasa lelah rupanya mengalahkan rasa penasaran untuk mengetahui lebih jauh desa tersebut. Tak terasa malam terasa cepat berlalu. Hingga baru menyadari bahwa wilayah itu diguyur hujan semalam suntuk. Bahkan mengakibatkan debit air naik hingga 3 meter.
Keesokan paginya, rombongan yang tergabung dari unsur Pemerintah Daerah Kabupaten Katingan dan masyarakat umum bersiap melanjutkan perjalanan. Namun sejumlah motoris enggan memberikan jasanya lantaran debit air sungai yang dianggap berbahaya. Sekitar 2 jam menunggu kondisi sungai memungkinkan, akhirnya motoris memberikan isyarat untuk bersiap berangkat.
Ditemani gerimis sisa hujan semalam, rombongan akhirnya bertolak dari Timbang Tabulus menuju Sepan Apui. Rombongan dipimpin Asisten I Setda Katingan kala itu, H. Jainudi Sapri. Total ada 7 perahu ces untuk mengantar rombongan. Dalam perjalanan, satu perahu diantaranya mengalami insiden. Perahunya karam di tengah derasnya arus sungai. Perahu lainnya dengan sigap menyelamatkan penumpang dan motoris. Beruntung tidak ada korban jiwa dalam insiden itu. Namun semua barang elektronik seperti handphone, halky talky (HT) dan lainnya rusak terendam air.
Jika kondisi sungai sedang normal atau rata-rata setinggi bahu orang dewasa, perjalanan ke Sepan Apui membutuhkan waktu sekitar 3 jam. Apabila sedang surut seperti pada musim kemarau, perjalanan bakal memakan waktu dua kali lebih lama. Perjalanan pada waktu itu tergolong sangat beresiko. Selain derasnya arus sungai, ternyata banyak juga batang pohon yang ikut hanyut. Sehingga butuh kewaspadaan tingkat tinggi agar perahu tidak pecah dan karam. Sejak awal, penumpang memang tidak dianjurkan menggunakan pakaian panjang dan terlampau berat. Itu dimaksudkan agar tidak sulit menyelamatkan diri apabila perahu tenggelam.
Bermodal mesin berkekuatan 7 PK, perahu hampir tidak mampu melawan arus sungai yang begitu deras. Bahkan motoris memaksakan mesin hingga batas maksimal. Sehingga tak ayal, konsumsi bahan bakar menjadi boros. Tiap 45 menit perjalanan, motoris wajib mengisi ulang bahan bakar agar perahunya selalu siap menerjang riam-riam berbahaya. Rapatnya kanopi pepohonan khas hutan hujan Kalimantan memayungi badan dari teriknya sinar matahari di siang itu. Sepanjang mata memandang, pepohonan khas perbukitan seperti menyapa rombongan yang datang. Makin ke hulu, ukuran sungai makin mengecil. Airnya makin jernih dan dingin. Dari atas perahu, wujud ikan begitu jelas terlihat. Keberadaan burung elang maupun enggang terlihat dari balik pohon.
Tak lama berselang, mulai terlihat adanya sejumlah sarang orangutan di pucuk pepohonan. Ya, kawasan Sepan Apui memang masuk Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TN BBBR). Memang sejak 2016 lalu, kawasan ini dijadikan sebagai lokasi pelepasliaran orangutan yang sebelumnya direhabilitasi.
Selama 5 jam perjalanan, tepatnya pukul 15.00 WIB, satu demi satu perahu rombongan mulai merapat ke Base Camp yang didirikan yayasan BOS Nyaru Menteng. Puluhan peserta ekspedisi Sepan Apui disambut dengan hangat dengan jamuan kopi dan teh panas. Inilah satu-satunya tempat menginap rombongan nantinya. Dari base camp, lokasi Sepan Apui sebenarnya cukup dekat, sekitar 300 meter menyusuri jalan setapak menjauhi sungai.
Informasi berharga itu kami dapat dari Ahmad. Pria ramah itu tak segan berbagai informasi untuk menjawab rasa penasaran penulis. Setelah ditelusuri, ternyata pria hitam manis itu merupakan koordinator base camp tersebut. Ahmad menceritakan, base camp itu dibangun sejak Juli 2016 lalu seiring pelepasliaran orangutan yang pertama di kawasan Sepan Apui. Ahmad menjelaskan, kawasan Sepan Apui dipilih menjadi lokasi pelepasliaran lantaran letak geografisnya berada 500 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sehingga dianggap cocok dengan pola hidup orangutan. Lalu kondisi alamnya masih berupa hutan perawan, kebutuhan makan orangutan seperti buah hutan, pucuk daun dan rayap masih tersedia. Yang paling terpenting, tidak ada orangutan lokal yang hidup di kawasan itu sebelumnya. Sampai saat ini, tingkat keberhasilan hidup 29 individu orangutan di kawasan mencapai 90 persen. Sedangkan 10 persen lainnya atau 2 individu diantaranya dinyatakan meninggal dunia. Satu orangutan tewas ditelan derasnya arus sungai. Sebab terjatuh dari dahan pohon ketika hendak menyeberangi sungai Bemban. Individu lainnya atas nama Doren. Orangutan remaja ini ditemukan mati mengenaskan. Diduga tewas akibat mendapat serangan ular berbisa.
Menurutnya, aktivitas pelepasliaran spesies terancam punah itu tak semudah yang dibayangkan orang pada umumnya. Tantangan terberatnya adalah memastikan setiap individu sudah bisa hidup mandiri di hutan belantara. Pekerjaan itulah yang Ahmad dan timnya bakal lakukan selama 3 sampai 5 tahun ke depan. Selain dirinya, Ahmad juga dibantu tim yang cukup solid, mulai seorang dokter hewan hingga belasan anggota. 15 anggotanya tersebut merupakan muda mudi yang berasal dari desa terdekat yang diberdayakan Yayasan BOS Nyaru Menteng. Profesi yang dilakoni mereka cukup berat. Setiap hari, Ahmad dan timnya membagi tugas untuk melacak keberadaan individu orangutan yang hidup bebas. Tiap orangutan mempunyai chip pada bagian punggung. Chip itu fungsinya memancarkan sinyal ke alat pelacak. Gunanya untuk memudahkan tim mendeteksi keberadaan setiap individu orangutan. Sumber tenaga atau baterai pada chip itu sanggup bertahan selama lima tahun.
Alat pelacak hanya mampu menangkap sinyal antara 400 sampai 500 meter saja. Sedangkan penyebaran orangutan terpantau lebih dari 2 – 3 kilometer dari pusat base camp. Jika menemukan individu, tim akan mencatat setiap aktivitas orangutan selama beberapa saat sebelum mencari frekuensi chip pada orangutan lainnya. Beberapa waktu lalu, Ahmad pernah melakukan survei di sekitar wilayah Desa Tewang Karangan, Kecamatan Pulau Malan, Kabupaten Katingan. Menurutnya populasi terbesar orangutan asli Katingan berada di hutan tersebut. Jumlahnya diperkirakan mencapai 9.000 individu. Pasalnya, setiap satu kilometer ditemukan adanya sembilan sarang. Padahal, fakta seperti itu sangat jarang ditemukan bahkan di wilayah pusat pelepasliaran orangutan sekalipun. Temuan seperti itu merupakan kabar gembira sekaligus duka bagi pihaknya selaku pemerhati orangutan. Sebab Ahmad beranggapan jika padatnya populasi orangutan yang tidak wajar seperti itu dipengaruhi aktivitas pembukaan lahan besar-besaran oleh sejumlah perusahaan sawit di wilayah itu.
Ahmad juga berbagi ilmu terkait fisikologi dan sosiologi orangutan. Menurutnya perilakunya tak jauh beda dengan manusia. Seperti pendendam, penyayang, suka berkelahi, membuli, penakut bahkan suka sesama jenis / perilaku seks menyimpang.
Hal terpenting yaitu tips menghindari serangan orangutan yang sedang marah. Salah satunya dengan berlari memutari orangutan tersebut beberapa kali sebelum memutuskan kabur. Sebab berdasarkan pengalaman, orangutan mempunyai kecerdasan yang tak jauh beda. Dalam berkelahi, mamalia asli Kalimantan itu menyerang organ terlemah musuhnya. Seperti menggigit ibu jari, pergelangan kaki hingga tempurung lutut. Meskipun sebagai hewan yang sangat dilindungi, namun jika dalam kondisi terdesak diperbolehkan untuk melawan. Tapi ujarnya, situasi seperti itu sangat jarang terjadi. Orangutan hanya akan menyerang apabila merasa terancam. Sebab umumnya orangutan liar sangat pemalu, mereka akan menghindari berinteraksi dengan manusia.
Kepada penulis, Ahmad menjelaskan jika keberadaan ikan Sapan yang kini terbilang susah ditemui masih terjaga di wilayah hutan lindung tersebut. Cukup bermodal pancing dan umpan cacing, merupakan cara bijak menangkap ikan tersebut. Namun dirinya menegaskan, tangkapan itu hanya untuk kebutuhan konsumsi saja. Itupun hanya mengambil ikan yang sudah dewasa, jika masih kecil maka ikan akan dilepas kembali.
Tak terasa hari mulai sore, obrolan terpaksa kami akhiri untuk kemudian merasakan sensasi mandi di hulu Sungai Bemban itu. Suhu tercatat masih diangka 27 derajat celcius dan kelembaban 89 persen. Namun air sungainya sangat dingin. Sehingga membuat enggan siapa saja untuk berlama-lama mandi. Hari mulai petang, sejumlah umat muslim salat magrib berjamaah beralaskan terpal seadanya. Sedangkan tim di base camp mulai sibuk memasak untuk persiapan makan malam bersama. Tangkapan dua ikan Sapan ditambah oseng sayuran menjadi menu santap kami malam itu. Agar sedikit menghangatkan tubuh yang mulai kedinginan, sambal super pedas yang diolah bersama bawang dayak ludes tak bersisa.
Pukul 05.00 WIB keesokan harinya, rombongan mulai berkemas menuju lokasi Sepan Apui. Jalannya tepat di belakang tenda tidur kami saat itu. Sepanjang perjalanan rombongan melalui jalan setapak di tengah rimbunnya tanaman rotan yang hidup liar. Agar tak tersesat, pihak pengelola base camp sudah menandai jalur dengan pita merah dibeberapa titik. Sebelum sampai ke lokasi, rombongan lebih dulu melewati tempat yang dikeramatkan warga lokal setempat. Dulunya hanya ada satu bangunan kayu yang dibuat sedemikian rupa seperti rumah kecil. Mereka menyebutnya sebagai keramat. Menurut sejarahnya, keramat yang pertama kali berdiri di lokasi itu merupakan milik Pahlawan Nasional yang juga Gubernur pertama Kalimantan Tengah yaitu Tjilik Riwut. Hingga kini ada sekitar tujuh buah keramat yang sengaja dibangun warga sebagai tanda balas budi atas hajat/permintaan yang dikabulkannya. Di dalam bangunan itu, biasanya ditaruh berbagai aneka penganan, mulai beras, nasi ketan, daging ayam, telur bahkan rokok. Bagi yang percaya, mereka akan duduk dan berdoa agar keinginan atau hajat mereka terkabul.
Damang Adat Kecamatan Marikit, Yansen Tawung (63) bersedia menceritakan sejarah tempat keramat itu kepada kami. Menurutnya informasi itu tidak semua orang boleh mengetahui, tapi kami mendapat pengecualian. Pada jaman dahulu, Sepan Apui pertama kali ditemukan tak sengaja oleh seorang warga ketika sedang mencari tempat berladang baru. Di Sepan Apui atau genangan air panas itu ternyata ditemukan banyak binatang-binatang seperti kijang, kancil, babi dan lain sebagainya suka berkumpul untuk minum airnya saat sore dan pagi hari. Potensi itu pun dimanfaatkan warga dahulu untuk berburu, namun berbagai upaya tidak membuahkan hasil. Hingga disuatu malam datanglah sebuah mimpi yang berpesan kepada siapapun yang ingin berburu agar meminta izin atau memohon lebih dahulu kepada mahluk gaib sang penunggu Sepan Apui. Tapi dengan catatan dengan niat yang baik, hati yang tulus untuk meyakininya.
Mahluk gaib penunggu Sepan Apui itu adalah Kameluh Esah. Berdasarkan catatan sejarah, yang pertama kali mendirikan keramat di lokasi itu adalah Tjilik Riwut dimasa-masa perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia dulu. Pahlawan Nasional kelahiran Kasongan, 2 Februari 1918 itu memang dikenal sakti. Akibat kesaktiannya itulah hingga membuat banyak orang percaya bahwa keramat yang didirikannya itu bisa mengabulkan hajat. Karena sudah banyak orang yang meyakininya, sehingga banyak bangunan keramat lain yang bermunculan di lokasi Sepan Apui tersebut. Tepat di bawah bangunan keramat, banyak ditemukan tumpukan batu sungai. Itu dimaknai sebagai pertanda bahwa setiap orang yang berhajat berhasil sampai. Batunya sendiri diambil dari salah satu pulau batu yang cukup besar. Lokasinya berada sebelum Sepan Apui. Maksudnya agar kedatangan orang yang berhajat diterima oleh penunggu gaib setempat.
Makna meminum air di Sepan Apui dipercaya bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Membilas diri dengan air di mata air itu diyakini sejak dulu untuk menjaga tubuh dari kebencian orang (santet) dan lain sebagainya. Lalu makna mengambil batu di Sepan Apui dan menyimpannya, dipercaya bisa membantu mempermudah jalan kehidupan siapa saja. Dengan catatan, hal itu harus diawali dengan niat dan hati yang tulus untuk percaya sepenuhnya. Apabila semua permintaan itu dikabulkan, maka wajib hukumnya orang tersebut memberi makanan atau sesajen sesuai janji awalnya di keramat itu. Jika tidak, maka sepanjang hidupnya tidak akan mendapat kemudahan lagi atau kualat. Seperti halnya musibah warga yang mencoba menambang emas di sekitar Sepan Apui. Sempat beberapa lama menambang, mereka tak juga mendapatkan emas. Sepulang dari situ, semuanya kini sudah meninggal dunia.
Menurutnya, sejak kecil sampai sekarang dirinya merasakan jika panas air di Sepan Apui tidak berubah sama sekali. Hanya saja Sepan Apui dulunya seperti kawah dengan sedikit celah untuk air sungai yang dingin bisa masuk, namun akibat aktivitas PETI itu membuat aliran air panas bercampur. Selain itu, sudah jarang ditemui binatang yang sering berkumpul di lokasi Sepan Apui. Itu karena banyak oknum yang serakah memasang jaring dan jebakan untuk menangkap hewan-hewan itu.
Ada tiga titik sumber mata air panas, yang terbesar atau sekitar 2,5 meter disebut sebagai kepala. Sedangkan tubuh dan bututnya masing-masing berukuran lebih kecil, berdiameter sekitar 1 meter. Batu yang berasal dari dalam Sepan Apui itu sendiri, biasanya dipakai untuk mata cincin dan dipercaya sebagai jimat perlindungan. Karena Sepan Apui merupakan salah satu aset daerah yamg sangat berharga, Yansen Tawung berharap agar lokasinya bisa dijaga dan dirawat oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Katingan.
Sehingga keberadaannya tidak lantas rusak karena minimnya pengawasan. Bahkan jika memungkinkan, bisa dikembangkan menjadi objek wisata baru. Ditata sedemikian rupa hingga seperti kondisi Sepan Apui seperti sedia kala. Dirinya mengaku sudah sejak lama mengusulkan hal itu kepada pemerintah setempat, namun tak kunjung direalisasikan. Selaku Damang Adat sekaligus saksi hidup sejarah Sepan Apui, beliua berpesan agar anak cucunya bahkan generasi penerus Kabupaten Katingan bergandengan tangan mempertahankan kealamian hutan dan Sungai Bemban. Caranya dengan tidak merusak dan menambang emas disepanjang aliran sungai maupun kawasan yang dilindungi Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya.
Sekitar 20 meter dari bangunan keramat, sumber air panas Sepan Apui sudah menampakan bentuknya. Ketiga sumber mata air panas itu berada di tebing jalan masuk. Uap panas yang dihasilkan cukup tebal hingga ke permukaan. Airnya cukup panas untuk melepuhkan kulit. Secara umum, dari luasan genangan air di Sepan Apui, 60 persen diantaranya tidaklah panas. Di seberangnya ada aliran sungai baru yang merangsek masuk dan berair dingin. Tidak ada jalan sama sekali untuk ke sana. Hanya ada batu dan ranting pohon sebagai pijakan, guna menghindari air yang cukup panas. Praktis, beberapa orang nekad berlarian agar bisa merasakan sensasi mandi di mata air Sepan Apui. Perpaduan sumber air panas dan dingin, sudah cukup untuk menjawab rasa penasaran rombongan. Sebagian lagi sibuk mencari batu untuk dibawa pulang. Secara umum, bagian batu yang tak sepenuhnya tergenang berubah warna menjadi putih. Informasinya, kejadian itu akibat kandungan mineral garam yang terkandung di sumber air panas tersebut. Sedangkan warna bebatuan lainnya nampak normal, namun ditemukan adanya serangga yang mati misterius di atasnya. Ada yang berargumen, serangga terbang itu mati karena panas batu itu sendiri. Saat berjalan-jalan di genangan yang menyerupai kolam dangkal semata kaki itu, ternyata ada beberapa titik sumber panas lainnya. Hal itu makin terasa ketika menggali lebih dalam ke dasar genangan dengan menggunakan kaki. Semakin dalam maka akan semakin panas. Kesempatan ke Sepan Apui dimanfaatkan rombongan untuk berfoto ria untuk mengabadikan pengalaman hidupnya. Tak sedikit pula, rombongan yang membawa pulang air panas itu.
Suseno Arianto (42) mengatakan, dirinya sengaja membawa pulang air panas tersebut untuk dilakukan pengujian laboratorium. Pasalnya, belum ada pihak manapun yang pernah melakukan melakukan riset terhadap kandungan yang berasal dari sumber mata air panas itu. Dirinya berharap, hasil uji laboratorium secara klinis itu bisa memberi kepastian informasi kepada masyarakat luas. Sehingga nanti dapat ditarik kesimpulan, terkait kebenaran khasiat air itu bagi tubuh manusia, sebagaimana kepercayaan masyarakat pada umumnya.
Usai mensukseskan misi mengeksplore Sepan Apui, perjalan pulang sedikit menyisakan cerita. Tanpa diketahui, ternyata disepanjang jalan sudah banyak lintah yang menunggu kedatangan rombongan. Posisi lintah seukuran batang korek api itu, berada diujung-ujung rerumputan atau daun. Lintah seakan tahu akan ada mangsanya yang bakal lewat. Apabila tersentuh sedikit saja, lintah akan langsung menempel pada pakaian, sepatu bahkan topi sekalipun. Lintah biasanya mengincar bagian terpanas dari tubuh, seperti disela jari kaki, lipatan lutut dan paha, punggung bahkan ketiak. Memang tidak terasa sakit, namun bagi yang belum terbiasa akan menjadi pengalaman yang sangat menjijikan. Lintah biasanya akan melepaskan mangsa dengan sendirinya setelah merasa kenyang. Meskipun sudah melepaskan diri, darah pada luka gigitan lintah akan terus mengucur keluar. Hal itu akibat adanya enzim antikoagulan atau pembekuan darah yang dikeluarkan mulut lintah. Itulah yang membuatnya leluasa menghisap darah. Efek antikoagulan akan hilang dengan sendirinya saat beberapa jam setelah dibersihakan dengan air. Meskipun kabarnya yang dihisap adalah darah kotor, tapi tetap saja membuat jijik. Cara termudah melepaskan lintah yang menempel salah satunya dengan meneteskan air rendaman tembakau ke pusat luka. Sedangkan cara termudah menghilangkan enzim antikoagulan yaitu dengan menempelkan daun bandotan atau bahasa latin -nya Ageratum conyzoides. (agg)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!