Terkait Perubahan Iklim, WWF Indonesia dan PPIIG UPR Gelar Diseminasi Hasil Kajian 

 Terkait Perubahan Iklim, WWF Indonesia dan PPIIG UPR Gelar Diseminasi Hasil Kajian 

FOTO: Kegiatan Diseminasi Hasil Kajian yang merupakan kerjasama antara WWF Indonesia dan PPIIG-UPR, Kamis (26/09/2024) di Palangkaraya.

PALANGKARAYA – Pusat Pengembangan Iptek dan Inovasi Gambut Universitas Palangka Raya (PPIIG-UPR) bekerjasama dengan WWF menggelar Diseminasi Hasil Kajian dan penelitian mendalam, terkait ‘Tingkat Kesejahteraan Masyarakat dan Ketahanan Sosio-Ekologis terhadap Perubahan Iklim di Sebangau- Katingan dan Tata Kelola Kebakaran Hutan di KHG Sebangau-Katingan dan KHG Sebangau-Kahayan’, Kamis (26/09/2024) pagi, di Palangkaraya.

Saat diwawancarai awak media, Community Forestry Specialist WWF Indonesia, Didiek Surjanto menyampaikan kegiatan hari ini merupakan upaya kami untuk mendiseminasikan (menyebarluaskan,red) hasil riset yang dilakukan bersama PPIIG UPR.

“Kita mau melihat tingkat kesejahteraan masyarakat dari level yang sejahtera, bukan dari level kemiskinan masyarakat. Dalam penelitian ini, kami ingin mengetahui definisi sejahtera langsung dari masyarakat,”ucapnya.

Lebih dalam, ia pun mengatakan kesejahteraan masyarakat yang berada di atas rata-rata garis kemiskinan, dapat dilihat dari berbagai indikator, misalnya kondisi rumahnya seperti apa, makannya seperti apa, serta masih ada lagi indikator lainnya.

Kemudian, kedua berkaitan dengan ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim dimana dalam hal ini kita melihat kondisi masyarakat terhadap lingkungannya. Mengingat, masyarakat dan lingkungan akan selalu berinteraksi, karena mereka mencari makan dari lingkungan sekitarnya.

“Penyebarluasan hasil riset ini ditujukan kepada masyarakat itu sendiri, instansi pemerintah yang relevan dan juga kepada akademisi, supaya mereka bisa mendapatkan inspirasi, serta membuka wacana bagaimana masyarakat bisa lebih tahan lagi terhadap perubahan iklim,”katanya.

Didiek pun menambahkan adapun alasan mereka melakukan riset ini, pertama mengingat WWF Indonesia dan PPIIG adalah lembaga yang konsen terhadap kelestarian lingkungan.

“Nah, kelestarian lingkungan tentunya tidak terlepas dari masyarakat karena mereka ini akan selalu saling berinteraksi dengan lingkungan sekitar,”katanya lagi.

Menurut Didiek, masyarakat di pedesaan adalah masyarakat yang berada di garis depan, mereka yang bersentuhan langsung dengan lingkungan. Dan, sebagaimana diketahui bersama bahwa akhir-akhir ini kan lingkungan kita mengalami perubahan iklim.

Misalnya, di daerah Kamipang-Katingan yang beberapa waktu lalu sempat mengalami banjir, tentunya itu menunjukkan adanya perubahan lingkungan, hal itu akan berdampak dan menganggu berbagai aspek kehidupan, termasuk aktifitas ekonomi masyarakat pun akan ikut terganggu.

“Melalui hasil riset ini, diharapkan dapat menjadi rekomendasi untuk stakeholder terkait, baik itu dari pemerintah dalam menentukan sejumlah regulasi yang berkaitan dengan lingkungan, ataupun melalui sejumlah instansi dalam menentukan sejumlah program-program pemerintah yang tepat sesuai dengan kondisi perubahan lingkungan sekarang ini,”ungkapnya.

Di tempat yang sama, Wakil Direktur PPIIG UPR, Dr. Dhanu Pitoyo, M.Si., menyampaikan kajian resiliensi atau studi tentang lebertahanan masyarakat itu, tidak bisa digeneralisasikan.

“Jadi, setiap studi ekosistem itu memiliki spesifikasi kajian masing-masing. Sehingga, ketika pemerintah ingin membuat regulasi harus benar-benar melihat apa yang saat ini sedang dibutuhkan oleh masyarakat,”ujarnya.

Dhanu mengungkapkan, ada 3 ekosistem yang diteliti, yakni Hutan bukan Dataran Rendah, Krangas dan Gambut. Dimana, masing-masing ekosistem ini memiliki tingkat aktifitas yang berbeda-beda.

Misalnya, di kawasan ekosistem gambut, mereka ingin mengembangkan produk turunan ikan sehingga tingkat kesejahteraannya itu bisa stabil.

Kemudian, di kawasan ekosistem Krangas, contohnya di Pulau Malan, mereka ingin mengembangkan produk turunannya bukan ikan, tapi serai dari perkebunan.

Sedangkan, di kawasan ekosistem Hutan bukan Dataran Rendah, mereka ingin mengembangkan produk turunannya buah-buahan.

“Jadi polanya berbeda-beda dan aktifitas masyarakatnya pun berbeda-beda dan tidak dapat digeneralisasikan. Sehingga, kebertahanannya juga berbeda-beda. Jika berbicara se-Kalteng, tentunya itu akan berbeda-beda karena ekosistemnya pun berbeda-beda,”imbuhnya. (YN)

Kaltengnews.co.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!