Bahas Publisher Rights, SPS Gelar Dialog Nasional dan Rakernas di Denpasar 

 Bahas Publisher Rights, SPS Gelar Dialog Nasional dan Rakernas di Denpasar 

FOTO: Diskusi Nasional dan Rakornas SPS Pusat dalam rangkaian HUT Ke-77 Tahun, Kamis (10/08/2023) di Denpasar, Bali.

Disisi lain, Sekda Provinsi Bali, Dewa Made Indra menambahkan semua organisasi pasti menghadapi tantangan, termasuk era sekarang yakni transformasi digital.

FOTO: Sekda Provinsi Bali, Dewa Made Indra.

“Saat ini kita sedang dikuasai oleh fenomena kecepatan. Semua harus serba cepat. Termasuk informasi. Sehingga sekarang ada pertarungan realitas virtual dan realitas aktual. Padahal ruang virtual belum tentu akurat. Fenomena ini mengakibatkan pergeseran tatanan kehidupan, termasuk tatanan bisnis dan pers. Itulah tantangan yang kita hadapi,” kata Made Indra.

Made Indra mengatakan Pemprov Bali memberikan perhatian dan kepercayaan yang besar ke media arus utama karena itu adalah sumber rujukan utama. Pemprov juga mengikuti dinamika yang ada pada media online dengan karakter berbeda.

“Pemprov Bali berkolaborasi dengan dua platform media tersebut. Bagi kami, keduanya diperlukan. Tetapi untuk mensosialisasikan program pemerintah secara utuh kepada masyarakat maka media arus utama masih menjadi prioritas kami. Bagaimana menjaga media tetap berkualitas di tengah gempuran informasi di media sosial, itu adalah tugas kita bersama,” katanya lagi.

Sementara Menteri Komunikasi dan Informatika (MeKomInfo) Budi Arie Setiadi dalam paparannya secara daring menyampaikan, berdasarkan survei indeks literasi digital tahun 2023, media mainstream atau media konvensional, khususnya media TV, mengungguli media sosial dan berita online.

“Di tengah gempuran disrupsi digital, masih eksisnya media konvensional ditopang keyakinan masyarakat bahwa media konvensional memiliki kualitas tertinggi dalam pengolahan, meja redaksi, dan penyampaian informasi. Hal ini membuat media konvensional menjadi sumber informasi tepercaya yang bisa memiliki kemampuan memfilter berita palsu atau hoaks,” tutur Budi Arie.

Budi Arie menyebut pemerintah tidak menutup mata kalua diperlukan regulasi yang mampu memitigasi disrupsi yang terjadi di industri media.

“Sejak tahun lalu bersama-sama kita berupaya menuntaskan penyusunan regulasi Publisher Rights (Hak Penerbit, red), untuk mewujudkan keseimbangan hubungan antara platform digital dan perusahaan media. Regulasi ini bertujuan untuk menciptakan fair playing field dan mewujudkan ekosistem media yang lebih sehat guna mendukung jurnalisme berkualitas dan menghormati kebebasan pers,” tuturnya lagi.

Publisher Rights diusulkan menjadi Peraturan Presiden (Perpres) yang menempatkan prinsip mutualisme dan menjadi landasan hukum kerjasama perusahaan platform digital dengan perusahaan pers untuk mendukung jurnalisme yang berkualitas.

Budi Arie mengutarakan harmonisasi rancangan Perpres sudah dilewati sejak Juli lalu. Saat ini Kemkominfo telah mengajukan permohonan pertimbangan penetapannya kepada Presiden RI.

“Perubahan adalah hal yang pasti, namun untuk berubah adalah pilihan. Media konvensional harus terus berinovasi dan beradaptasi terhadap perkembangan teknologi yang terus bergerak semakin cepat. Kita harus terus berinovasi, beradaptasi dan lincah dalam merespon perubahan yang begitu dinamis. Saya merasa kolaborasi menjadi kunci untuk kita lari bersama dalam harmoni,” tukas Budi Arie.

Senada Menkominfo mengenai Perpres kesetaraan media dan platform digital, perwakilan media Arif Zulkifli, PT CEO PT Tempo Inti Media Tbk., menggarisbawahi fenomena media yang disebutnya “rezim algoritma” dan latar belakang gagasan Publisher Rights.

“Gagasan Publisher Rights muncul dari kecemasan dua hal. Pertama adalah hubungan tidak setara antara penerbit atau publisher dengan platform digital terutama platform internasional. Kecemasan kedua adalah turunnya mutu jurnalis akibat rezim algoritma yang mengedepankan kecepatan dan hal-hal yang sifatnya di permukaan,” ujar Arif.

Sebetulnya praktik gagasan ini menurut Arif sudah dilakukan di negara lain seperti Australia, Jerman, dan Kanada. Yang pada intinya menjawab dua hal tadi. Pertama, dudukan yang setara dan seimbang antara publisher dengan platform, dan kedua bagaimana mengembalikan marwah jurnalisme agar kembali memunculkan jurnalisme yang berkualitas.

Arif meyakini turunnya kualitas karya jurnalistik di dunia digital akibat dari rezim algoritma. Platform beralasan mesin pencari mempunyai algoritmanya sendiri yang secara otomatis berubah. Sementara kinerja media sangat dipengaruhi algoritma. Dan pengaturan perubahan algoritma ini juga turut dimasukkan ke Perpres.

Wakil Ketua Umum Ekonomi Digital & Energi Terbarukan KADIN Bali, Agung Wirapramana mengatakan inovasi produk jurnalistik yang kolaboratif dengan dunia usaha itu sangat penting.

“Pers sangat berperan dalam tumbuh kembang bangsa. Dan kini tantangan pers semakin besar. Perlindungan terhadap demokrasi pers sangat diperlukan termasuk Publisher Rights,” ujar Agung.

Agung menegaskan, dunia usaha memerlukan informasi kredibel karena sekarang ini banyak disrupsi informasi yang membuat bias. Awak media berperan penting dalam pemberitaan yang akurat bagi dunia usaha.

“Kami berharap dunia usaha bisa berkolaborasi dengan pers juga dunia teknologi dan bersinergi untuk mendukung ekonomi. Kolaborasi dalam kompetisi juga diperlukan. Peluang inovasi mulai dari proses transformasi menuju totally digital sebelum menuju generated AI,” ujarnya.

Upskill, reskill, dan upscale sangat penting. Sisi bisnis bisa ditingkatkan dengan meningkatkan skill dan upgrade. Dan Colaborative Movement. Kalau media tidak punya visi sama, mungkin akan ada friksi yang berpotensi mengadu domba. Kita harus bersama-sama memperkuat media, seluruh stake holder, pemerintah, dunia usaha, dan lain-lain,” tutur Agung menambahkan.

Dari sisi teknologi GM Digital & Business Development Telkomsel, Vicky Fathurahman, lebih berfokus pada para penerbit agar bisa memberikan nilai tambah ke pengiklan.

“Di mata pengiklan, para publisher tentu ingin mempunyai value lebih, yang tidak dibawah platform. Malah harusnya lebih tinggi dari platform. Tentu ada hal yang harus dilakukan publisher agar bisa mencapai nilai tambah tadi. Misalnya dari segmen audiens, publisher harus bisa merangkul generasi Y dan Z. Dan itu yang dilakukan Telkomsel, membangun engagement dengan Gen Y dan Z sehingga bisa built to last,” ucapnya.

Ia menambahkan, tantangan kedua bagi publisher adalah untuk membuat publisher first party data. Jadi tanpa bergantung pada platform luar, publisher sudah bisa berbicara banyak kepada pengiklan berbasis data. Misalnya demografis audiens, profil audiens, dan lain sebagainya.

“Dengan begitu publisher bisa meningkatkan revenue setiap iklan. Built capability membangun sebuah segmentasi dari pembacanya sehingga ketika berbicara dengan pengiklan kita punya added value lebih, tidak lagi didikte oleh platform,” tandas Vicky.

Sekedar diketahui, SPS (Serikat Perusahaan Pers) Lahir di Yogyakarta pada 8 Juni 1946 silam, para tokoh dan pendiri perusahaan-perusahaan pers nasional berkumpul mengikrarkan berdirinya Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), yang merupakan wadah berkumpulnya para penerbit pers (cetak). Organisasi ini menjadi alat perjuangan dalam menjaga kedaulatan Republik Indonesia melalui pers.

Tepat di usia 65 tahun pada tahun 2011 SPS mengubah namanya menjadi Serikat Perusahaan Pers. Organisasi bertransformasi bukan hanya wadah penerbit media cetak (suratkabar, tabloid, dan majalah), melainkan juga terbuka bagi media non cetak (online dan penyiaran). Hingga akhir 2022, SPS memiliki 600 anggota yang tersebar di 30 cabang seluruh Indonesia.

Kegiatan ini juga turut dihadiri oleh Ketua SPS Provinsi Kalimantan Tengah Sogianto  yang juga Direktur Utama PT. Aska Bulan Sari Telaga (PT. ABST) Media Online LensaKalteng.com (Media Group Kalteng).

Sumber: Siaran Pers SPS Pusat

Editor: Yundhy Satrya 

Yundhy Satrya ^ Kaltengnews.co.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!