Pemprov Kalteng Lepas 14 Armada Bus untuk Program Mudik Gratis Idulfitri 1446 H
Mengenal Jamilah, Sosok Penjual Jamu yang Tak Gentar Dikriminalisasi

FOTO : ANGGRA DWINIVO / ARSIP
DIJAMIN AMAN : Jamilah Tama (50) merupakan sosok penjual jamu tradisional yang lebih mengutamakan kualitas, higienistas dan keamanan produk jamu olahannya.
PENULIS : ANGGRA DWINIVO
DI TENGAH gempuran produk jamu kemasan instan, olahan jamu tradisional ternyata masih memiliki peminatnya tersendiri. Di Kasongan, Kabupaten Katingan, produk jamu laris manis di pasaran. Selain harga yang bersahabat, masyarakat menilai jamu yang diolah secara tradisional itu lebih berkhasiat bagi kesehatan.
Namun sayang, citra jamu akhir-akhir ini tercoreng akibat ulah oknum yang tidak bertanggungjawab. Betapa tidak, ramuan jamu yang sejatinya menggunakan rempah-rempah herbal sengaja dioplos menggunakan bahan kimia berbahaya. Sehingga wajar jika aparat penegak hukum saat ini santer merazia jamu, terutama produk tanpa label registrasi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Kendati demikian, pekerjaan sebagai penjual jamu tradisional tak lantas membuat Jamilah Tama patah arang. Warga transmigrasi asal Jawa Tengah itu terus berinovasi agar produk jamunya semakin dipercaya konsumen. Keuletannya dalam mempertahankan tradisi Jawa itupun mendapat apresiasi dari para pelanggannya. Meski digempur oleh banyaknya produk jamu instan, jamunya tetap dinanti masyarakat.
Kepada penulis, wanita berusia setengah abad ini menceritakan sejarah hingga suka dan duka berjualan jamu selama sembilan tahun terakhir. Menurutnya, keterampilan membuat olahan jamu berkhasiat merupakan resep turun temurun yang telah diwariskan dari ibu dan neneknya sejak dulu.
“Kami tidak mengenal yang namanya bahan kimia apapun, jamu ini murni berbahan dasar rempah-rempah alami. Sehingga saya jamin aman dikonsumsi secara rutin dan khasiatnya sudah banyak dirasakan pelanggan saya,” ungkapnya, Sabtu (20/1/2017).
Lantaran tanpa bahan pengawet apapun, produk jamunya maksimal cuma bertahan selama seminggu. Itupun harus disimpan ke dalam lemari pendingin.
“Rata-rata jamu cuma bertahan satu minggu, kalau jamu serbuk yang sudah siap seduh, bisa bertahan selama tiga bulan. Tapi harus disimpan dalam toples dan jauh dari air,” imbuhnya.
Agar tidak mengurangi cita rasa, Jamilah memang meracik jamunya sendiri. Dedaunan yang dipetiknya dari kebun, ditumbuk dalam lumbung kayu sampai halus. Kemudian, dicampur dengan sejumlah rempah, seperti kunyit, jahe merah, kencur, dan beras goreng.
Bahan-bahan itu disesuaikan dengan kebutuhan, kemudian seluruh racikan ditumbuk halus. Lalu diperas dengan ditambah air matang.
“Seluruh proses saya lakukan sendiri, karena beda tangan maka akan beda juga rasanya. Saya tidak ingin mengecewakan pelanggan, sehingga memilih untuk meracik jamu sendiri. Untuk membuat jamu sebanyak 30 botol, bisa memakan waktu sekitar tiga jam,” jelasnya.
Inovasi membuat jamu serbuk muncul setelah dirinya mengikuti pelatihan atau kursus pembuatan jamu di Kabupaten Katingan dan Kota Palangka Raya pada pertengahan tahun 2013 lalu. Menurutnya, varian jamu semacam itu lebih bermanfaat bagi konsumen, sebab memiliki daya tahan yang lebih lama.
“Tapi yang paling laris tetap jamu siap saji (cair, Red) karena tinggal minum. Agar jamu tetap segar saat dijual pagi atau siang hari, saya membuat jamunya ketika subuh. Mungkin karena itulah, sampai saat ini tidak pernah ada konsumen yang mengeluh terhadap rasa,” katanya.
Menurutnya, dalam sekali olah dirinya mampu membuat jamu hingga 15 liter atau sekitar 35 sampai 40 botol air mineral ukuran 600 mililiter. Mengolah jamu tidak dilakoni tiap hari, namun cukup tiga hari sekali. Adapun varian jamu serbuk yang juga bisa dijadikan sebagai bumbu masakan tersebut, yakni temulawak, jahe, kunyit, dan kencur. Sedangkan aneka jamu siap minum, yakni seperti beras kencur, manjakani, kunyit asam sirih, dan olahan jamu lainnya.
“Kalau dibuat tiap hari, siapa yang mau beli. Karena dalam satu botol jamu, umumnya baru habis dikonsumsi selama dua hari. Bisa juga saya buat, tapi kalau ada permintaan saja. Kenapa tidak saya stok, karena jamu tidak bisa awet terlalu lama,” ujarnya.
Berbicara omzet, dalam sebulan mantan warga Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) Buntut Bali, Kecamatan Pulau Malan, Kabupaten Katingan ini mampu menghasilkan keuntungan sebesar Rp 3 sampai Rp 4 juta.
“Selain jualan jamu bubuk dan siap minum, saya juga jualan berbagai olahan kerupuk, seperti kripik bongkol pisang, rempeyek, dan lain sebagainya. Alhamdulillah selama ini dagangan saya laris manis,” katanya.
Konsumen jamu kebanyakan berlatar belakang aparatur sipil negara (ASN) yang bekerja di perkantoran Pemkab Katingan. Tidak hanya itu, jamu olahannya juga cukup digemari para tenaga medis di RSUD Mas Amsyar Kasongan.
“Kalau di rumah sakit, ada beberapa dokter yang sudah berlangganan dengan saya. Bahkan ada juga dokter yang hampir tiap hari minta dibuatkan. Katanya jamu saya enak dan berkhasiat,” bebernya.
Terlepas dari itu semua, Jamilah Tama mengaku tidak gentar sedikitpun terhadap maraknya penangkapan terhadap para penjual jamu tradisional. Dirinya menyadari, jika produk olahannya hingga saat ini belum mendapatkan registrasi apapun dari BPOM maupun Dinas Kesehatan setempat.
“Saya tidak takut kalaupun ditangkap, karena jamu yang saya olah ini memang asli dan alami tanpa campuran bahan kimia. Jika tidak percaya silakan dibuktikan sendiri, kalaupun berbahaya seharusnya sudah banyak pelanggan saya yang sakit-sakitan sekarang,” tegasnya.
Agar usahanya tidak bertentangan dengan aturan, sejak tiga bulan lalu dirinya mulai mengurusi berbagai perizinan melalui Dinas Kesehatan Katingan. Selain menyiapkan kelengkapan syarat administrasi, produk jamu olahannya pun turut diuji laboratorium.
“Padahal yang membuat izinnya itu adalah pelanggan saya juga. Kemarin jamunya sudah diteliti (uji lab, Red), katanya aman tidak ada bahan kimia. Meskipun begitu, sampai sekarang saya belum pegang izin resminya karena belum keluar,” tukasnya.
Menurutnya, sejauh ini minat masyarakat terhadap jamu tradisional masih cukup tinggi. Hanya perlu konsistensi dan menyesuaikan dengan permintaan agar produk jamunya bisa bertahan di pasaran. Dirinya tidak merasa tersaingi dengan beragamnya produk jamu serupa yang dibuat pabrikan skala banyak.
“Saya yakin sampai kapan pun jamu tradisional seperti ini masih dicari masyarakat, karena mereka sudah tahu sejak lama khasiat dan keamanannya. Bahkan ada beberapa orang yang malah mempertanyakan pengawetan jamu pabrikan itu,” ujarnya.
Memasuki tahun ke 10 berjualan jamu tradisional, Jamilah Tama mengaku tidak pernah pelit membagi ilmu dan resepnya kepada orang lain. Sebab, hingga saat ini belum ada satupun keturunannya yang melirik untuk melanjutkan usahanya tersebut.
“Kalau ada orang yang mau belajar boleh, datang saja ke rumah nanti saya ajari apa saja bahan, takaran, dan cara mengolahnya. Saya tidak takut tersaingi, karena setiap rejeki sudah diatur porsinya oleh Allah SWT,” pungkasnya. (agg)