Sepenggal Perjuangan Tjilik Riwut di Jantung Kalimantan
Penulis : ANGGRA DWINIVO
MEMANG belum banyak orang yang tahu akan keberadaan Sepan Apui. Bahkan di telinga masyarakat Kabupaten Katingan itu sendiri. Padahal, Sepan Apui merupakan sepenggal bukti sejarah perjuangan pahlawan nasional Tjilik Riwut membela kemerdekaan dulu.
Indonesianya, kata Sepan dapat diartikan sebagai genangan atau kubangan dangkal. Sedangkan kata Apui, dimaknai warga lokal seperti didihan. Sumber mata air panas ini terus keluar sepanjang tahun dan diketahui volumenya masih sama sejak dahulu kala. Sedari turun-temurun warga lokal mempercayai air di Sepan Apui berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit, terutama yang berhubungan dengan kulit. Kendati demikian, tidak sedikit pula yang menyakini bahwa air yang berasa asin tersebut mujarab untuk menyembuhkan penyakit-penyakit supranatural.
Hingga kini, belum diketahui adanya penelitian ilmiah terhadap kandungan air tersebut. Namun yang jelas, kondisi airnya bersih dan jernih. Tidak berbau dan tidak juga berasa. Ketiga indikator itu sudah cukup memberi jaminan bahwa air di Sepan Apui cukup aman dikonsumsi langsung. Pun demikian, belum ada laporan warga yang sakit akibat meminum langsung air tersebut.
Sepan Apui berada tepat di jantung Pulau Kalimantan. Masuk dalam kawasan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) yang secara administratif berada di areal Desa Batu Panahan Kecamatan Marikit Kabupaten Katingan. Untuk bisa sampai ke sana, lebih dulu melewati Desa Batu Panahan. Desa ini merupakan desa terakhir yang berada di hulu Sungai Bemban (anak Sungai Katingan). Akses satu-satunya yaitu menggunakan perahu berukuran kecil (warga lokal menyebutnya kelotok/ perahu alkon). Kapasitas maksimal cuma menampung tiga orang dewasa, plus satu motoris. Sungainya cukup dangkal, sehingga penumpang bisa merasakan langsung sensasi gesekan antara lambung perahu dengan bebatuan sungai. Sedikitnya membutuhkan waktu sekitar empat jam perjalanan dari desa terdekat atau sekitar tujuh jam dari muara Sungai Bemban.
Damang Kepala Adat Kecamatan Marikit Yansen Tawung (63) tahu betul sejarah Sepan Apui tersebut. Kepada penulis, beliau bersedia menceritakan sepenggal sejarah tempat keramat itu. Dirinya menuturkan, pada jaman dahulu Sepan Apui pertama kali ditemukan secara tak sengaja oleh seorang warga ketika sedang mencari tempat berladang baru.
“Di genangan air panas itu ternyata ditemukan banyak binatang liar seperti kijang, kancil, babi, dan lainnya. Kawanan hewan itu suka berkumpul di bibir kubangan untuk minum air, terutama pada pagi dan sore hari,” ungkapnya.
Menurutnya, diam-diam potensi itu dimanfaatkan warga lokal untuk berburu, namun anehnya berbagai daya dan upaya tidak juga membuahkan hasil. Hingga di suatu malam, datanglah sebuah mimpi yang berpesan kepada siapapun yang ingin berburu agar lebih dulu meminta izin atau memohon kepada mahluk gaib penunggu Sepan Apui.
“Mahluk gaib sang penunggu Sepan Apui itu dinamakan Kameluh Esah. Berdasarkan catatan sejarah, yang pertama kali mendirikan bangunan keramat di lokasi itu adalah Tjilik Riwut. Tepatnya dimasa-masa perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia dulu,” jelasnya.
Yansen Tawung menuturkan, pahlawan nasional kelahiran Kasongan 2 Februari 1918 itu memang dikenal sakti dan menguasai banyak kelebihan yang bersifat gaib. Kabarnya, salah satu kesaktian Tjilik Riwut itu didapatnya usai menjalankan ritual tertentu di Sepan Apui. Jejaknya untuk mendirikan bangunan keramat (rumah kecil untuk meletakan sesajen) pertama di lokasi itu, ternyata diikuti warga lokal setempat.
“Pada saat itu banyak warga desa yang bingung dari mana Tjilik Riwut bisa tahu bahwa di hutan rimba seperti itu ada sumber mata air panas. Padahal sebagian besar warga desa sekitar belum pernah ke sana bahkan mengetahuinya sama sekali. Itulah yang membuat banyak orang percaya bahwa Tjilik Riwut memang memiliki kesaktian,” imbuhnya.
Berdasarkan cerita para tokoh adat, tuturnya, salah satu dari sekian banyak kesaktian yang dikuasai Tjilik Riwut berasal dari Sepan Apui.
“Karena orang-orang menyakini, sehingga banyak warga di sini bahkan dari luar daerah yang datang dan ikut-ikutan membangun keramatnya sendiri di Sepan Apui. Mereka datang semata-mata untuk meminta agar kehidupannya lebih baik, bisa berupa urusan kekayaan, jodoh, hingga kesembuhan penyakit,” tukasnya.
Tepat di bawah bangunan keramat pertama Tjilik Riwut, banyak ditemukan tumpukan batu yang berasal dari sungai. Hal itu dimaksudkan sebagai pertanda bahwa setiap orang yang datang dan berhajat berhasil sampai ke tujuan dengan selamat. Batunya sendiri diambil dari dasar maupun sekitar Sungai Bemban yang berada sebelum Sepan Apui.
“Meminum air di Sepan Apui dipercaya bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Membilas badan langsung di mata airnya diyakini untuk membentengi diri dari kebencian orang (santet) dan lain sebagainya. Lalu makna mengambil batu di Sepan Apui dan menyimpannya, dipercaya bisa membantu mempermudah jalan kehidupan siapa saja. Dengan catatan, hal itu harus diawali dengan niat dan hati yang tulus untuk percaya sepenuhnya,” jelas Yansen.
Apabila semua permintaan dikabulkan, maka yang bersangkutan wajib memberi makanan atau sesajen sesuai janji awalnya berhajat di keramat tersebut. Jika tidak, maka sepanjang hidupnya tidak akan mendapat kesuksesan atau kualat.
“Contohnya musibah yang menimpa warga yang mencoba menambang emas di sekitar Sepan Apui. Setelah beberapa lama menambang, mereka tidak juga mendapatkan emas. Sepulang dari situ, semuanya mulai sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia,” bebernya.
Pengalaman pertamanya ke Sepan Apui sudah dilakukan sejak usia anak-anak bersama orang tuanya. Hingga saat ini, dirinya merasakan jika panas air di Sepan Apui tidak berubah sama sekali. Awalnya, mata air panas Sepan Apui keluar dari dasar batu yang berukuran cukup besar. Lama kelamaan batu itu tenggelam bersamaan dengan susutnya tanah berpasir.
“Kondisi itu diduga akibat ulah warga yang hendak mengambil batu ukuran kecil untuk dibawa pulang. Selain itu, dulunya Sepan Apui masih berbentuk kawah dengan sedikit celah bagi air sungai yang bersifat dingin bisa masuk,” sebutnya.
Akibat aktivitas penambang emas tanpa izin (PETI) tersebut, juga mempengaruhi tingkat kepanasan air. Sebab, di sekitar Sepan Apui juga terdapat aliran sungai. Sudah jarang ditemui binatang yang sering berkumpul di lokasi Sepan Apui. Itu karena banyak oknum yang serakah memasang jaring dan jebakan untuk menangkap hewan-hewan itu.
“Sebenarnya ada tiga titik sumber mata air panas, yang terbesar atau sekitar 2,5 meter disebut sebagai kepala. Sedangkan tubuh dan buntutnya masing-masing berdiameter sekitar satu meter. Batu yang berasal dari dalam Sepan Apui itu sendiri, biasanya manfaatkan untuk mata cincin dan dipercaya sebagai jimat perlindungan,” katanya.
Terlepas dari unsur gaib dan beragam kepercayaan warga lokal terhadap Sepan Apui, semestinya lokasi tersebut menjadi aset penting bagi pemerintah daerah Katingan. Yansen Tawung berharap, warga lokal setempat bersama-sama menjaga kelestarian Sepan Apui ke depan.
“Jangan sampai menunggu rusak karena minimnya pengawasan. Bahkan jika memungkinkan, bisa dikembangkan menjadi objek wisata baru. Ditata sedemikian rupa untuk mengembalikan kondisi semula Sepan Apui. Saya sudah sejak lama mengusulkan hal itu kepada pemerintah, tapi tidak kunjung direalisasikan,” ujarnya.
Selaku Damang Kepala Adat sekaligus saksi hidup sejarah Sepan Apui, beliau berpesan agar anak cucunya bahkan generasi penerus di Kabupaten Katingan memiliki kesadaran yang sama untuk mempertahankan kealamian hutan dan Sungai Bemban. Salah satu caranya, yakni dengan tidak merusak dan menambang emas di sepanjang aliran sungai maupun kawasan yang dilindungi Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya.
BERBAHAYA DIKONSUMSI JANGKA PANJANG
Berdasarkan hasil pengujian laboratorium yang dilakukan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Katingan, diketahui jika kandungan mata air panas di Sepan Apui cukup berbahaya jika dikonsumsi jangka panjang.
Kepala DLH Katingan, Hap Baperdo menjelaskan, jika dilihat secara fisik air panas yang bersumber dari Sepan Apui sekilas memang tidak berwarna, berasa maupun berbau. Namun ketiga indikator itu bukan jaminan bahwa kandungan air di dalamnya aman untuk dikonsumsi manusia.
“Berdasarkan parameter lapangan yang sudah kita uji laboratorium, terungkap bahwa airnya mengandung senyawa mineral seperti klorida, sulfat, dan nitrit bahkan belerang. Beberapa diantaranya melebihi baku mutu air minum, seperti klorida yang mencapai angka 20,8. Itu artinya cukup tinggi,” ungkapnya.
Padahal, air tawar yang memenuhi standar baku mutu umumnya memiliki senyawa tersebut cenderung sedikit bahkan nihil. Sedangkan dari sisi Ph atau tingkat keasaman, air Sepan Apui terdeteksi relatif aman bagi manusia.
“Sehingga wajar pada saat kita konsumsi secara langsung airnya akan berasa sedikit asin. Hal itu akibat pengaruh tingginya senyawa klorida,” imbuhnya.
Apakah berbahaya bagi kesehatan? Hap Baperdo mengatakan bahwa potensi itu mungkin saja terjadi apabila dikonsumsi dalam waktu lama.
“Kalau meminum sesekali boleh, bahkan tidak akan ada dampaknya secara langsung. Tapi dianjurkan agar airnya diolah terlebih dahulu, namun bukan dengan cara dimasak. Karena memanaskan air cuma berfungsi sebagai disinfektan atau membunuh bakteri/ kuman saja,” jelasnya.
Senyawa klorida sendiri umumnya ditemukan secara alami dalam air laut. Cirinya yaitu berasa asin. Jika air laut yang mengandung klorida itu dikonsumsi, maka dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah. Hal itu akibat aktivitas tekanan osmosis dalam tubuh manusia.
“Kandungan klorida di air laut biasanya berkali-kali lipat lebih tinggi, jika dibanding klorida di air Sepan Apui. Tapi kalau dikonsumsi terus menerus, kandungan klorida akan terakumulasi dalam ginjal dan hati. Jadi resikonya bagi kesehatan lebih kepada jangka panjang,” terang Hap Baperdo.
Selain itu, pihaknya juga bakal melakukan pengujian terhadap kandungan logam pada air panas Sepan Apui. Pasalnya, sampel air yang dilakukan uji laboratorium terakhir cukup sedikit.
“Kita sedikit kesusahan karena sampel airnya terlalu sedikit. Tapi kita maksimalkan yang ada untuk diketahui kandungan logam-logam beratnya seperti apa,” imbuhnya.
Namun demikian, bukan berarti air panas Sepan Apui diartikan berbahaya secara umum. Selama dipergunakan di luar tubuh, kandungan klorida tidak akan membahayakan kesehatan sama sekali.
“Kalau untuk cuci, mandi, dan sebagainya tidak apa-apa. Tapi kalau dikonsumsi saya rekomendasikan jangan untuk waktu lama. Karena standar baku mutu untuk air minum itu lebih ketat dari standar air bersih,” tukasnya.
Berdasarkan hasil uji laboratorium secara klinis tersebut, disimpulkan bahwa air panas Sepan Apui direkomendasikan DLH Katingan tidak dikonsumsi secara langsung maupun untuk kebutuhan jangka panjang.
“Karena masih ada beberapa parameter yang belum dilakukan pengujian, kita minta ditangguhkan dulu untuk mengkonsumsi airnya. Sampai saatnya nanti, kami akan sampaikan semua kandungan airnya kepada masyarakat,” ujarnya.
Menanggapi sugesti maupun kepercayaan masyarakat lokal bahwa sumber mata air panas Sepan Apui mempunyai khasiat menyembuhkan berbagai penyakit. Pria maskulin tersebut beranggapan bahwa masyarakat jangan dulu percaya sebelum dilakukan uji klinis.
“Selama inikan cuma mendapat informasi melalui katanya-katanya. Meskipun secara fisik bagus, tapi belum tentu kandungan di dalamnya baik sesuai standar kesehatan. Intinya semua itu dikembalikan kepada masyarakat itu sendiri. Logika apakah berkhasiat atau tidak, maka harus melalui penelitian secara mendalam,” pungkasnya. (agg)